VINEYARD BROTHERS ~ Part 5


Title: Vineyard Brothers
Author: Icha
Type: Chapter
Genre: Romance / Family Story
Rating: T
My Twitter : @icaque
Cast :
Park Jiyeon
Vineyard Brothers :
Jang Woo (Anak Ke 1)
Ah In (Anak Ke 2)
Myeong Soo  (Anak Ke 3)
Seok-Hyeon (Anak Ke 4)
Etc
~~~~~~~~~
All Author P.O.V
“Selamat tinggal keluarga aneh…” gumam Jiyeon tanpa menoleh ke belakang. Kakinya terus membawanya ke stasiun. Dia harus membeli karcis kereta malam ini. Dia akan kembali ke Seoul. Hidup sebagai seorang yeoja mandiri.
Tetapi apa ini? Manusia yang paling tidak ingin Jiyeon lihat justru menampakkan wujudnya di tengah jalan segelap ini.
“K-kau?” Jiyeon gagap dan bingung mau berbuat apa. Dia ketangkap basah oleh Kim Myeong Soo.
Myeong Soo mendekati Jiyeon. Ditatapnya Jiyeon dengan pandangan menyelidik.
“Kau ingin kabur?” tanya Myeong Soo.
Jiyeon menggigit bibir bawahnya, otaknya berusaha keras mencari alasan yang paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan namja cerewet di depannya itu.
“Kau tidak mau tinggal dirumahku lagi?” tanya Myeong Soo lagi.
“W-wae?” Akhirnya Jiyeon buka suara.
“Aku sudah salah menilaimu. Kupikir kau yeoja kuat dan tahan banting. Melihat keberingasanmu sewaktu memukulku saat di Seoul, semua akan berpikir bahwa kau yeoja hebat. Ternyata dugaanku salah. Ckckckc….” ucap Myeong Soo dengan nada menghina.
“Kau…berhentilah menghinaku!” ucap Jiyeon hilang kesabaran. “Yeoja mana pun di dunia ini tidak akan betah diperlakukan seperti ini. Kau kira aku pembantumu, heh? Pekerjaan kasar seperti itu dapat membunuhku dan juga yeoja-yeoja di seluruh dunia ini.”
“Nomuhajima,” ucap Myeong Soo dengan wajah malas-malasan. “Kau suka minum wine?”
“Mwo? Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu padaku?” tanya Jiyeon ketus.
“Kau tidak akan dapat meminum wine-wine mahal itu jika tidak ada petani anggur seperti aku,” ucap Myeong Soo. “Berhentilah menyombongkan diri.”
“S-saekki…” ucap Jiyeon dengan bibir bergetar. “Hanya karena saat ini aku sudah miskin, bukan berarti kau bisa menghinaku seenaknya…”
“Yaa!” sela Myeong Soo cepat. “Aku tidak takut dengan uangmu. Kau pikir kau bisa menjatuhkan semua orang dengan uangmu, heh? Seharusnya kau sadar, uangmu saja tidak betah dekat-dekat dengan manusia sepertimu.”
“Mworago? Kau benar-benar namja brengsek!” ucap Jiyeon tidak tahan lagi.
Myeong Soo justru tertawa melihat Jiyeon keki seperti itu.
“Kau berbicara seperti itu supaya aku tidak pergi kan? Kau ingin menahanku kan?” tanya Jiyeon tiba-tiba.
“Mwo? Apa aku tidak salah dengar? Hal terindah di dunia adalah saat dimana aku tidak dapat melihat wajahmu lagi. Jadi tolong, berhenti membuatku tertawa dengan ucapan konyolmu itu…” Myeong Soo terkikik sambil memegang perutnya.
“SAEKKIIIII!” Sudah habis kesabaran Jiyeon. Tas tangan Jiyeon yang berat melayang ke arah kepala Myeong Soo. “Bagaimana rasanya? Sakit? Itu tidak seberapa dibandingkan rasa sakit hatiku padamu!!!!!!!!” Jiyeon melayangkan tas tangannya sekali lagi, tetapi kali ini Myeong Soo berhasil menangkap tahan Jiyeon dan menahannya.
“Yaa…menjadi yeoja kasar seperti ini tidak akan menguntungkanmu. Namja-namja di luar sana tidak akan suka melihat yeoja beringasan sepertimu,” ucap Myeong Soo sambil meringis kesakitan.
“Masa bodoh! Persetan dengan namja2 diluar sana!” Jiyeon menendang “pusaka” milik Myeong Soo, yang otomatis terdiam dengan wajah terkejut. Otomatis Myeong Soo melepaskan tangan Jiyeon, berganti memegang “pusaka”nya sendiri sambil loncat-loncat kesakitan.
Jiyeon terbahak-bahak melihat Myeong Soo yang mengerang kesakitan.
Sepertinya kebahagiaan Jiyeon hanya sementara. Beberapa detik kemudian, dia terjungkal, berguling dan masuk ke dalam danau yang lumayan dalam. Hak stilettonya patah dan menyangkut di tanah.
“T-tttolong~bleeep~” Tangan Jiyeon terulur ke atas, meminta pertolongan.
Myeong Soo terkejut melihatnya. Rasa sakit dan panik bercampur menjadi satu.
“Ige mwoya…” gumam Myeong Soo bingung. Akhirnya, tanpa banyak berpikir, Myeong Soo nyebur ke danau untuk menolong Jiyeon.
Myeong Soo menggeret Jiyeon sampai ke tepi danau. Nafas mereka berdua terengah-engah.
“MICCHEOSSEO?!” teriak Myeong Soo marah. “Kau ingin mati, heh? Kenapa kau selalu saja menyusahkanku?”
“Yaa!” balas Jiyeon setelah nafasnya kembali normal. “Sebodoh itukah aku? Andai benar aku ingin mati, aku akan memilih tempat yang lebih baik daripada tenggelam di danau menyeramkan seperti ini!!!!”
Myeong Soo mengusap wajahnya yang basah, lalu membuka kausnya.
“Y-yaa…yaa!” ucap Jiyeon seraya menutup matanya. “Kau mau apa? Kenapa kau membuka kausmu?”
Myeong Soo berusaha tidak mendengarkan celotehan Jiyeon. Tidak lama kemudian, dia meninggalkan Jiyeon sendirian dengan keadaan basah kuyup.
“Yaa…kau mau kemana? Kenapa kau meninggalkanku sendirian disini?” erang Jiyeon dengan wajah memelas.
**
“Omona!” Na Mi terkejut saat melihat Myeong Soo basah kuyup. Dan dia lebih terkejut lagi saat Jiyeon muncul di belakangnya, persis sama dengan Myeong Soo, basah kuyup. “Kalian berdua habis ngapain?”
Myeong Soo tidak menjawab pertanyaan ibunya dan langsung masuk ke dalam kamar mandi di halaman belakang.
“Jiyeon-ssi, kenapa kau basah kuyup begini?” tanya Na Mi seraya melilitkan handuk ke tubuh Jiyeon.
“Ahjumma…apa semua orang dirumah ini berencana untuk membunuhku, heh?” tanya Jiyeon berani.
“M-mwo?” Na Mi terkejut mendengar ucapan Jiyeon.
“Ahjumma…aku benar-benar menderita. Semua orang disini sudah memperlakukanku secara tidak pantas!” keluh Jiyeon.
“Aigoo…Jiyeon-ssi, aku tidak menyangka bahwa kami telah memperlakukan dirimu dengan tidak baik,” ucap Na Mi dengan wajah penyesalan begitu dalam.
“Aku memang tidak punya rumah. Appa dan Oppa-ku pergi meninggalkanku entah kemana. Aku sudah kehilangan semuanya. Tetapi itu bukan berarti orang dapat memperlakukanku seenaknya. Aku tidak biasa melakukan pekerjaan kasar seperti ini. Mengurus kebun anggur, aigooo….membuatku ingin mati saja…” Jiyeon mengacak-acak rambutnya yang basah.
“A-araseo…Jiyeon-ssi,” ucap Na Mi seraya mengelus kepala Jiyeon. “Aku akan bilang pada suamiku, mulai besok kau tidak usah bekerja di kebun lagi. Aku mengerti perasaanmu, Jiyeon-ssi. Tidak mudah bagimu untuk beradaptasi dengan lingkungan kami. Kau terbiasa hidup di kota. Desa bukanlah tempat yang cocok bagimu. Aku akan coba bicarakan hal ini dengan suamiku. K-kau…jangan pergi dari sini. Tetaplah tinggal disini.”
“Jinjiha?” tanya Jiyeon muncul harapan.
“Ne, jinjiha,” ucap Na Mi sambil tersenyum.
“Jadi maksudmu, aku kan tetap tinggal disini tanpa harus bekerja di kebun sebagai pengganti uang sewanya?” tanya Jiyeon memastikan.
“Uang sewa?” tanya Na Mi terkejut. “Aigooo…bagaimana mungkin kami meminta dirimu untuk bekerja di kebun sebagai pengganti uang sewa selama tinggal dirumah kami. Aniyo…aniyo…kau tidak perlu membayar uang sewa.”
“J-jinjiha?” tanya Jiyeon sumringah.
“Ne, Jiyeon-ssi,” jawab Na Mi.
Tidak lama kemudian Myeong Soo keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Myeong Soo menatap Jiyeon dengan tatapan sebal, sedangkan Jiyeon langsung memalingkan wajahnya, tahu bahwa Myeong Soo sedang setengah telanjang saat ini.
Myeong Soo sudah masuk ke dalam kamar haraboji dan Na Mi menyuruh Jiyeon untuk membersihkan dirinya di kamar mandi. Hari sudah semakin malam, angin malam akan merusak tubuh Jiyeon yang basah. Na Mi membuatkan segelas susu hangat untuk Jiyeon saat Jiyeon sudah di kamar.
“S-susu?” tanya Jiyeon agak kaget.
“Ne, susu ini biasa diminum oleh Seok Hyeon~jangan khawatir…susu ini bukan susu untuk anak kecil…” Na Mi menyerahkan gelas tinggi berisi susu pada Jiyeon. “Setelah susunya habis, Jiyeon-ssi sebaiknya tidur.”
“Bagaimana mungkin aku bisa tidur…” ucap Jiyeon. “Nyamuk-nyamuk disini rasanya setiap saat dapat membunuhku…” tambah Jiyeon ngelunjak.
“Ah jinjiha? Aigoo…sebaiknya kamarmu ini diberi kelambu,” ucap Na Mi berpikir. “Baiklah, besok aku akan menyuruh Myeong Soo untuk memasang kelambu di kamarmu ini…”
“Mwo? Kenapa harus Myeong Soo?” tanya Jiyeon langsung menolak mentah-mentah.
“W-wae?” tanya Na Mi balik. “Memangnya kenapa kalau Myeong Soo?”
“Ani…aku hanya merasa anak Ahjumaa yang satu itu tidak suka dengan kehadiranku disini,” ucap Jiyeon berdiplomasi.
“Ah…baiklah, yang penting bukan Myeong Soo kan…besok aku akan menyuruh siapa saja yang kebetulan ada di rumah,” ucap Na Mi. “Kalau begitu selamat malam dan selamat tidur yang nyenyak.” Na Mi pun keluar dari kamar Jiyeon.
Di dalam kamar, Jiyeon tidak dapat menyembunyikan seringainya. Dia senang keadaan dapat merubah secepat ini. Dia dapat tinggal di rumah Keluarga Kim secara gratis. Dan sepertinya Na Mi menyukai dirinya. Apapun yang Jiyeon minta, sepertinya Na Mi bersedia menurutinya.
“Ahhh~Park Jiyeon…hidupmu akan kembali seperti semula. Ne, memang kau tidak lagi dikelilingi barang2 mewah, tetapi paling tidak…kau punya Ahjumaa yang dapat melayanimu,” gumam Jiyeon pada dirinya sendiri.
**
“A-appa?” Jiyeon terkejut saat melihat Appanya sedang duduk di sebelahnya.
“Jiyeon-ah…gwaenchana?” tanya Tuan Park seraya mengelus kepala anaknya.
“Appa!” Jiyeon langsung memeluk Ayahnya. “Bogosipho…”
“Mianhae…Jiyeon-ah…” ucap Tuan Park. “Aku sudah membuatmu susah belakangan ini.”
Jiyeon mengangkat kepalanya. “Appa, kenapa perusahaan kita bisa bangkrut? Kenapa rumah kita disita? Apa hutang-hutang kita begitu banyak? Lalu kenapa Appa tidak pernah cerita padaku? Wae Appa? Waeee?”
Tiba-tiba Jisung datang seraya berkata, “Kajja, Appa!”
“Wae?” tanya Tuang Park.
“Kita harus segera pergi, pada mantan karyawan Appa sedang mengejar kita. Mereka menagih gaji mereka bulan ini yang belum dibayar! Kajja Appa, kita lari!” ucap Jisung seraya menarik tangan Tuan Park.
“T-tetapi bagaimana dengan Jiyeon-ah?” tanya Tuan Park.
“Ah sudah, lupakan dia. Dia dapat bertahan hidup tanpa kita,” ucap Jisung terus menarik tangan Tuan Park.
“Appa, aku ikut denganmu Appa….” Jiyeon berusaha mempertahankan tangan Tuan Park. “Yaa! Oppa…kau tidak bisa meninggalkan aku sendirian disini!” ucap Jiyeon memaki Jisung.
“Lepaskan tangan Appa!” Jisung berusaha melepaskan pegangan tangan Jiyeon pada tangan Tuan Park. Tangan Jiyeon berhasil di lepas. “Kau! Pergilah bersama dengan teman-temanmu! Minta pertolongan pada mereka!”
Jisung dan Tuan Park pun akhirnya meninggalkan Jiyeon pergi.
“APPA! OPPA! Jangan tinggalkan aku sendirian! Aku takuuuut…” erang Jiyeon tersungkur di lantai. Air mata membanjiri wajahnya.
Tiba-tiba saja segerombolan orang datang menghampiri Jiyeon. Mereka adalah mantan karyawan Tuang Park.
“Yaa! Kemana ayahmu? Ayahmu belum membayar gajiku!” ucap yang bertubuh jangkung.
“Miccheosseo? Apa kalian tidak tahu bahwa sekarang kami sudah jatuh miskin?” tanya Jiyeon menantang.
“Aigooo….micchigeutta! Sudah miskin masih saja menyebalkan!” sahut yang bertubuh gempal.
“Aku tidak perduli, ppali! Berikan gaji kami! Kami juga butuh uang untuk hidup!” ucap si jangkung lagi.
“Apa kau tuli, heh?” tanya Jiyeon kasar. “Aku tidak akan membayar kalian sepeser pun!”
“Yaa! Saekki!” Si jangkung tiba-tiba saja menendang tubuh Jiyeon.
“Yaa! Apa yang kau lakukan?” teriak Jiyeon.
Dan entah mengapa, tiba-tiba saja semua mantan karyawan Tuan Park mengerubungi Jiyeon, hendak menendangi tubuhnya.
“APPAAAAA, tolong aku…..”
“Yaa!”
“APPAAAA!”
“Yaa! Cepat bangun!”
“APPAAAAAAA!”
“Yaa! Tidak ada Appamu disini! Cepat banguun!”
Jiyeon membuka matanya. Dia melihat seorang namja sedang berdiri depannya. Kaki namja itu sedaritadi menendangi tubuhnya bermaksud untuk membangunkannya.
“Nuguseyo?” tanya Jiyeon dengan suara serak. Dia bangun dan mengulet, berusaha merenggangkan tubuhnya yang kaku.
Jiyeon tidak dapat melihat wajah namaj itu karena terhalang sinar matahari yang masuk ke dalam kamarnya.
“Eomma bilang aku harus memasang kelambu ini di kamarmu. Dan sepertinya akan susah bagiku jika kau terus tidur di kamar ini,” ucap si namja.
“Kelambu?” tanya Jiyeon masih setengah sadar. Dia mengucek-ngucek matanya.
Namja itu pun membungkuk, menggoyang-goyangkan bahu Jiyeon, berusaha menyadarkan Jiyeon.
“Cepat bangun, aku harus kembali ke kebun setelah ini,” tambah si namja lagi.
Ketika kesadaran Jiyeon sudah terkumpul sepenuhnya dan lagi matanya sudah dapat melihat jelas keadaan sekitarnya, Jiyeon terkejut bukan main saat wajah namja itu tepat berada di depan wajahnya.
Jiyeon terbelalak, bibirnya mendadak kaku, otaknya mendadak nge-hang, saat melihat Yoo Ah In sedang menunjuk dirinya.
“Kau…Park Jiyeon?” tanya Ah In sama terkejutnya dengan Jiyeon.
“O-Oppa?”
**
“Kupikir Eomma sedang bercanda saat dia bilang  ada yeoja bernama Park Jiyeon sedang menginap di rumah ini,” ucap Ah In. “Tetapi aku mencoba berpikir logis, Park Jiyeon di Korea ini bukan hanya satu orang…”
Jiyeon seperti kehilangan keberanian untuk mengangkat wajahnya.
“Aku tidak menyangka bahwa Park Jiyeon yang menginap di rumah ini adalah kau, Jiyeon-ah…” tambah Ah In. Matanya menatap lekat wajah Jiyeon yang tertunduk. “Jiyeon-ah…bagaimana dengan kabarmu?”
“M-mwo?” tanya Jiyeon gugup. “A-aku? Aku baik-baik saja.”
“Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Kau banyak berubah. Kau terlihat semakin cantik dan tumbuh menjadi yeoja dewasa,” ucap Ah In.
Jiyeon hanya mampu mengangguk.
“Aku tidak menyangka bahwa seorang Park Jiyeon dapat tinggal di rumah jelek seperti ini,” ucap Ah In. “Mianhae…aku turut berduka atas kejadian buruk yang belakangan ini menimpamu. Appa sudah menceritakan semuanya padaku dan sungguh…hal ini membuatku sangat terkejut.”
“Aku tidak apa-apa,” jawab Jiyeon mulai berani mendongakkan kepalanya. “Semuanya sudah terjadi dan aku tidak dapat menyesalinya.”
Tiba-tiba seseorang mengetuk kamar Jiyeon dan muncullah wajah Myeong Soo.
“Yaa! Yeoja pemalas!” ucap Myeong Soo. “Kau bicara apa sih dengan Eomma, heh? Eomma dan Appa berdebat semalaman. Dan kau tahu apa yang mereka perdebatkan? Kau! Mereka memperdebatkan kau! Eomma sepertinya tidak ingin melihatmu susah. Dia begitu membelamu di hadapan Appa! Ah jeongmal~”
“Yaa…Myeong Soo-ah, kenapa kau marah-marah begitu pada tamu kita?” tanya Ah In bijaksana.
“Apa kau ingin menjadi salah satu grupiesnya setelah Eomma, heh?” tanya Myeong Soo ketus pada kakaknya. “Hyong, kau jangan termakan ucapan  yeoja serigala satu ini…”
“Mwo?” tanya Jiyeon dengan mata melotot. “Yeoja serigala?”
“Kalau Haraboji mendengar semua ini, dia pasti akan marah. Jika kau tidak mau bekerja disini, dia akan menagih uang sewa padamu dalam bentuk uang,” ucap Myeong Soo menyeringai.
“Myeong Soo-ah,” sahut Na Mi yang tiba-tiba datang. “Ajaklah Jiyeon-ssi ke kebun. Tetapi ingat…jangan beri dia pekerjaan berat. Sebaiknya kau ajak dia membungkus anggur-anggur itu sebelum masa panen.”
Myeong Soo menjawab ibunya dengan nada malas.
“Jiyeon-ssi, aku sudah bicarakan hal ini dengan suamiku. Mianhae…kalau ternyata keputusannya tidak seperti yang kau harapkan. Paling tidak, mereka sudah memberikan satu keringanan untukmu. Mereka tidak akan memberikan pekerjaan kasar untukmu. Dan sebelum sore, kau sudah dizinkan pulang…”
“Tetapi apa mereka masih memaksaku untuk bangun pagi-pagi buta?” tanya Jiyeon.
“Aniyo…aniyo…” jawab Na Mi. “Mereka mengizinkanmu tidur sampai jam delapan pagi.”
“Sekarang sudah jam sembilan, yeoja pemalas!” sela Myeong Soo. “Apa kau masih berniat tidur, heh?”
“Myeong Soo-ah, jangan bicara terlalu kasar dengan tamu kita,” ucap Na Mi menasihati anaknya.
“Eomma, kau jangan terlalu baik dengan yeoja ini,” keluh Myeong Soo.
“Kau tidak boleh seperti itu. Bagaimana pun, Jiyeon-ssi tetap tamu kita. Kita harus melayani tamu dengan baik,” ucap Na Mi tetap keukeh dengan prinsipnya.
“Aigooo~” desah Myeong Soo.
**
Jiyeon datang dengan penampilan jelek luar biasa. Na Mi memberikan dia baju tani yang kebesaran dan norak warnanya. Sepatu boot berwarna kuning menyala membuat Jiyeon risih.
“Bisakah aku memakai high heels?” tanya Jiyeon pada Myeong Soo.
“Terserah kau,kalau kau mau sepatu mahalmu itu menancap pada tanah lembek,” jawab Myeong Soo. “Nih! Bungkus anggur2 ini dengan hati-hati!” Myeong Soo melemparkan sebungkus kantung plastik ukuran kecil pada Jiyeon. “Kau lihat bagaimana caraku membungkus anggur ini.”
Dengan sekali lihat, Jiyeon dapat membungkus anggur-anggur itu dengan cepat dan rapi.
“Tidak buruk,” ucap Myeong Soo.
Jam sudah menunjukkan pukul satu siang. Hari sudah semakin terik dan keringat pada tubuh Jiyeon semakin banyak keluar.
“Jiyeon-ssi, ayo makan siang dulu!” panggil Na Mi mengajak Jiyeon makan siang.
Secepat kilat Jiyeon datang menghampiri Na Mi. Di atas tikar yang digelar, daging-daging panggang sedang dipanggang. Sayur-sayur basah yang sudah dicuci menarik mata Jiyeon.
Na Mi mengambil satu daging yang sudah matang dan diletakkan di atas sepotong sayuran. “Makan yang banyak, Jiyeon-ssi,” Na Mi memberikannya pada Jiyeon.
“Ah, ne…gumawo,” ucap Jiyeon ragu. Jiyeon meneliti sayur yang diambil oleh tangan Na Mi.
“Tangan Eommaku bersih. Kau tidak perlu khawatir,” celetuk Myeong Soo membuat Jiyeon agak terkejut.
Jiyeon hanya mendelik ke arah Myeong Soo sebelum memasukkan sayurnya ke dalam mulutnya sendiri.
Sudah banyak sayur dan daging yang masuk ke dalam perut Jiyeon. Perut Jiyeon sudah terisi penuh sekarang. Dan apa ini, setelah rasa lapar berganti menjadi kenyang, kini rasa mulaslah yang datang. Sudah beberapa hari ini Jiyeon tidak buang air besar.
“Um~aku pergi ke toilet dulu,” ucap Jiyeon seraya memegang perutnya yang melilit.
“Apa kau mencoba untuk kabur setelah perutmu terisi penuh?” celetuk Myeong Soo.
“Ah jeongmal,” desah Jiyeon menatap sinis ke arah Myeong Soo. Tanpa memperdulikan sindiran Myeong Soo, Jiyeon berlari ke rumah.
Poor Jiyeon! Kakusnya sedang diisi oleh orang lain.
“Omo~bagaimana ini?” desah Jiyeon yang sudah keringat dingin.
Perutnya terasa penuh, sepertinya gas yang berada di dalam perutnya memaksa ingin keluar.
“Tidak apa-apa kan jika aku keluarkan disini,” gumam Jiyeon yang hendak kentut.
Dan detik berikutnya, Jiyeon berhasil mengeluarkan gas di dalam perutnya yang begitu banyak.
“Ah~sedikit lega, paling tidak…”
“Gwaenchanayo?” tanya sebuah suara yang mengagetkannya.
Jiyeon berbalik dan mendapati Yoo Ah In sedang menutup hidung sambil tersenyum.
Bukan main malunya Jiyeon. Wajahnya mendadak merah. Ingin rasanya dia menenggelamkan wajahnya ke danau di seberang sana. Dia malu, malu total!

Opmerkings

Gewilde plasings van hierdie blog

Lirik Lagu Infinite Lately (White Confession) with Translate