Slaan oor na hoofinhoud

VINEYARD BROTHERS ~ Part 11 / FINAL
Posted on
Title: Vineyard Brothers
Author: Icha
Type: Chapter
Genre: Romance / Family Story
Rating: T
My Twitter : @icaqueCast :
Park Jiyeon
Vineyard Brothers :
Jang Woo (Anak Ke 1)
Ah In (Anak Ke 2)
Myeong Soo  (Anak Ke 3)
Seok-Hyeon (Anak Ke 4)
Etc
~~~~~~~~~
All Author P.O.V
Ah In menghampiri Myung Soo yang sedang sibuk bekerja di kebun. Surat dari Jiyeon berada di dalam genggamannya. Semalaman ini Ah In sudah banyak berpikir tentang masalah hatinya bersama Jiyeon dan Myung Soo. Posisinya saat ini sebagai seorang kakak. Dia harus berlaku bijak. Dia sudah memutuskan untuk meluruskan permasalahan hatinya ini.
“Yaa…apa kau tidak lelah bekerja terus?” tanya Ah In seraya berjongkok di sebelah Myung Soo, membantu membersihkan sisa2 ulat yang masih menempel pada batang anggur.
“Kebun kita harus kembali produktif,” ucap Myung Soo, tanpa menoleh ke Ah In.
Surat dari Jiyeon sekarang berada di dalam saku Ah In, dia masih ragu untuk memberikan surat itu pada adiknya.
“Myung Soo-ah,” ucap Ah In. “Apa kau tidak ingin mencari seorang pacar?”
Myung Soo menghentikan tangannya yang sedang bekerja, lalu menoleh sesaat ke Ah In.
“Wae?” tanya Myung Soo. “Kenapa kau menanyakan hal itu?”
“Aniyo,” jawab Ah In. “Aku tidak pernah melihatmu dekat dengan seorang gadis, setelah Hwayoung mencampakkanmu.”
Myung Soo mendesah mendengar ucapan Ah In.
“Apa aku salah bicara?” tanya Ah In merasa bersalah. “Mianhae…”
“Aniyo,” ucap Myung Soo.
“Lalu?” tanya Ah In. “Bagaimana hubunganmu dengan Hwayoung?”
“Bukankah itu sudah berakhir? Walaupun baru beberapa hari kemarin aku baru berhasil meyakinkah Hwayoung bahwa aku bukan namja yang pantas untuknya,” jelas Myung Soo.
“Kau bicara seperti itu padanya karena kau masih sakit hati dengannya?” Ah In terus melontarkan pertanyaan macam itu.
Myung Soo menggeleng seraya menjawab, “Ani…aku sudah sangat ikhlas dengan keadaan yang sudah terjadi pada aku, maupun Hwayoung.”
“Apakah kau tidak berniat untuk merasakan cinta yang baru?” tanya Ah In mulai memancing.
Myung Soo menoleh seraya bertanya, “Cinta yang baru?”
“Ne,” jawab Ah In. “Manusia membutuhkan cinta, Myung Soo-ah. Ada masa saat dimana manusia mengalami traumatik akibat kisah cinta lalunya yang gagal. Tetapi apa dengan begitu si manusia tersebut musti bermusuhan dengan yang namanya cinta? Demi Tuhan, aku akan merasa seperti benda mati jika tidak mengizinkan cinta lain masuk ke dalam hatiku.”
“Aku…” Ucapan Myung Soo tertahan. “Aku…sedang merasakannya.”
Pernyataan Myung Soo membuat wajah & jemari Ah In menegang. Dia harus bisa mengontrol dirinya saat mendengar “apapun” jenis jawaban dari Myung Soo.
“J-jinjiha?” tanya Ah In. “Nugu? Siapa gadis itu?” tanya Ah In pura-pura antusias.
“Tidak penting, Hyong,” ucap Myung Soo.
“Yaa!” ucap Ah In, berusaha untuk mengorek perasaan Myung Soo lebih dalam. “Aku adalah kakakmu. Jujur padaku tidak ada salahnya kan?”
“Jinjiha, Hyong. Tidak begitu penting untukku sekarang ini. Mencintai yeoja itu hanya suatu hal yang sia-sia saja. Mencintainya bagai menelan kue pie kosong. Aku hanya menemukan rasa hambar. Bukankah cinta itu harusnya manis?” Myung Soo mulai terbawa emosi, terdengar dari nada bicaranya. “Aku sempat membencinya. Berada didekatnya…adalah sebuah hal buruk bagiku…”
Ah In berusaha mengontrol dirinya. “Apakah yeoja itu separah itu?”
“Ne,” jawab Myung Soo berusaha mengingat kenangannya. “Dia sangat amat parah. Tetapi Hyong…sepertinya aku harus mengakui bahwa jarak antara benci dan cinta itu setipis kertas. Aku seperti terkena karma. Menyadari bahwa aku mulai memendam sebuah perasaan untuknya, membuatku malu…malu untuk mengakuinya…”
“Jadi…kenapa kau tidak bisa mempertahankan cintamu itu?” tanya Ah In mulai menduga siapa yeoja itu.
“Aku…aku berusaha mempertahankan hal yang lebih penting daripada sekedar cinta,” ucap Myung Soo. Ne, Myung Soo lebih mempertahankan persaudaraannya dengan Ah In. “Aku membiarkan dia pergi. Aku biarkan dia mencintai namja lain. Aku berusalah mengalah. Ne, itu terus aku lakukan. Aku selalu berkorban demi cinta. Dulu aku berkorban untuk Hwayoung…sekarang aku berkorban untuk…”
“Jiyeon?” tanya Ah In telak, membuat Myung Soo menoleh kepadanya dengan tatapan kaget. “Yeoja yang sedang kau bicarakan adalah Park Jiyeon kan?”
“Hyong,” ucap Myung Soo. “Mianhae, Hyong. Aku…aku tidak bermaksud…”
“Menusukku dari belakang?” sela Ah In seraya mengeluarkan surat dari kantungnya. Ah In akhirnya memberikan surat itu pada Myung Soo. “Kalau bukan karena surat ini, aku tidak akan pernah tahu…”
Myung Soo mengambil surat itu lalu membacanya.
“Memang isi surat itu tidak memberitahu bahwa Jiyeon mencintaimu. Tetapi aku dapat merasakannya. Aku tidak suka jika yeoja yang kusuka mengirimi surat untuk namja lain. Dan kau bisa lihat? Park Jiyeon membuat sebuah surat untukmu. Konyolnya dia salah memberikannya padaku,” jelas Ah In dengan pahitnya.
Myung Soo telah membaca isi surat dari Jiyeon. Dengan rasa bersalah yang amat luar biasa, Myung Soo berkata, “Hyong, demi Tuhan…surat ini bukan apa2.”
“Bagaimana dengan perasaanmu?” tanya Ah In. “Apa kau terima jika aku bilang bahwa perasaan yang kaupendam untuk Jiyeon tidak ada artinya?”
“Hyong, aku mencintaimu. Kau kakakku,” ucap Myung Soo berusaha menjelaskan. “Aku tidak mungkin merebut sesuatu yang seharusnya menjadi milikmu.”
“Aku ragu Jiyeon akan menjadi milikku,” ucap Ah In. “Jujur saja, semenjak dia tinggal di rumah kita, kaulah orang yang paling sering menemaninya.”
“Jiyeon tidak mencintaiku, Hyong. Dia mencintaimu,” ucap Myung Soo.
Ah In menggeleng seraya berkata, “Kalau dia mencintaiku, seharusnya dia tidak membuat surat itu untukmu.”
“Hyong, surat ini bukan apa-apa,” ucap Myung Soo. “Aku lebih memilihmu, lebih memilih persaudaraan kita daripada Park Jiyeon. Kau kakak yang terbaik buatku. Kau selalu membelaku, melindungi sewaktu kecil. Aku tidak mungkin merebut sesuatu yang kaucintai. Kau tidak usah pikirkan masalah perasaanku dengan Jiyeon…”
“Aniyo,” ucap Ah In seraya memeluk Myung Soo. “Aku juga mencintaimu, Myung Soo-ah. Dan aku tidak mungkin memiliki Jiyeon, disaat aku tahu bahwa kau memendam perasaan yang sama kepada Jiyeon. Daridulu aku selalu memberikan milikku kepadamu. Dan aku tidak pernah lelah melakukan hal itu.”
Myung Soo melepaskan pelukannya seraya bertanya, “Maksud, Hyong?”
“Kau tahu apa maksudku,” ucap Ah In.
Ah In mengusap air matanya yang sempat menetes, lalu pergi meninggalkan Myung Soo.
**
Di butiknya, Jiyeon sedang sibuk menata baju-baju ke dalam gantungan. Tiba-tiba wajah Myung Soo berkelebat di otaknya. Menyadari hal ini membuat Jiyeon heran.
“W-wae?” gumam Jiyeon. “Kenapa aku memikirkan namja itu?”
Tiba-tiba Jisung datang dan mengagetkannya dari belakang.
“Annyeong…Wolf Lady,” ucap Jisung.
“Yaa! Aku bukan Wolf Lady lagi,” ucap Jiyeon seraya menatap tajam kakaknya.
“Kalau kau bukan Wolf Lady kenapa pandanganmu kepadaku menakutkan seperti itu?” goda Jisung.
“Ah~sudahlah…jangan ganggu aku sedang bekerja,” desah Jiyeon mengacuhkan kakaknya.
“Wajahmu benar-benar jelek hari ini,” ucap Jisung mencoba memperhatikan. “Apa kau sedang ada masalah?”
“Masalahku satu-satunya adalah menyadari bahwa aku mempunyai kakak idiot sepertimu,” jawab Jiyeon membuat Jisung kesal.
“Yaa! Aku tidak idiot,” ucap Jisung tidak terima.
Tiba-tiba ponsel Jiyeon berbunyi. Appanya menelponnya.
“Ne, Appa?” tanya Jiyeon. “Mwo? Ke kantormu? Araseo. Tunggu aku satu jam lagi. Ne…”
Setelah menutup ponselnya, Jiyeon segera mengambil tasnya, berniat pergi.
“Kau mau kemana?” tanya Jisung.
“Ppali antar aku ke kantor Appa,” ucap Jiyeon seraya menarik tangan Jisung keluar butiknya.
Sesampai di kantornya, Jiyeon dan Jisung duduk di depan meja Appanya di dalam ruang kerja Appanya yang besar.
“Jiyeon-ah, tujuan Appa memanggilmu kesini…aku ingin bertanya satu hal penting,” ucap Tuan Park.
“Hal penting?” tanya Jiyeon dengan dahi berkerut.
“Ne,” jawab Tuan Park. “Kau telah melalui semuanya. Segala hal baik sudah aku dengar dari Min Gyu-ssi selama kau tinggal dirumahnya. Dengan begini, Appa jadi berpikir…sepertinya kau sudah bisa mendapat kepercayaan dari Appa untuk memegang salah satu saham di kantor ini.”
“M-mwo?” Bola mata Jiyeon melebar.
“Ne, Jiyeon-ah,” ucap Tuan Park. “Jebal, bekerjalah diperusahaan Appa. Bersama dengan Jisung-ah, aku yakin kalian mampu meningkatkan perusahaan Appa ini menjadi lebih baik lagi.”
Jiyeon tidak langsung menolak. Dia justru memikirkan ucapan Appanya.
“Bagaimana dengan butikku?” tanya Jiyeon mencoba mempertimbangkan.
“Kau bisa menjalankannya secara bersamaan,” ucap Tuan Park. “Kau bisa mengurus butikmu pada sore sampai malam hari. Pagi dan siang hari kau dapat bekerja dikantor Appa,” ucap Tuan Park memberikan solusi.
Akhirnya Jiyeon mengangguk seraya berkata, “Ne, Appa. Aku mau.”
“Jinjiha?” tanya Tuan Park bersamaan dengan Jisung. Keduanya terkejut mendengar jawaban Jiyeon.
“Aku akan berusaha melakukan yang terbaik untuk perusahaanmu, Appa. Eomma dulu juga berusaha keras kan untuk membangun perusahaan ini?” ucap Jiyeon.
Tuan Park mengangguk dengan perasaan bangga bercampur haru.
“Kau benar-benar telah berubah, Wolf Lady,” desah Jisung tidak percaya.
**
Pagi yang cerah dan dingin.
Myung Soo ingat betul saat Jiyeon masih tinggal dirumahnya. Si Wolf Lady pemalas yang suka bangun siang dan anti bekerja di kebun. Hal ini membuat Myung Soo tersenyum. Tiba-tiba Na Mi, sang ibu, berkata untuk membangunkan Ah In. Mereka berdua akan pergi ke pasar untuk membeli sayuran segar. Myung Soo pun masuk ke dalam kamar Ah In. Tidak ada Ah In, hanya ada selembar surat tergeletak di ranjangnya. Jang Woo yang kebetulan sedang ada di dalam berkata, “Apa kau sedang ada masalah dengan Ah In?”
Myung Soo tidak menjawabnya.
“Dia berpesan agar kau membaca surat itu,” ucap Jang Woo.
“Lalu kemana dia, Hyong?”
“Dia diam saja sewaktu aku bertanya seperti itu,” jawab Jang Woo.
Tiba-tiba Jae Wook, sepupu mereka masuk seraya berkata, “Apa Ah In sedang ada masalah? Aku lihat dia sedang berada di stasiun. Dia bilang dia mau menenangkan diri. Mianhae, aku tidak bisa mencegahnya. Kereta sudah mau berangkat.”
Myung Soo mendesah mendengar ucapan Jae Wook. Dia pun mengambil surat dari Ah In lalu dibacanya…

Yaa!
Aku pergi bukan karena aku pengecut!
Aku pergi karena aku mengalah untukmu. Kupikir, akan lebih baik jika kau yang menjaga Jiyeon. Dia gadisku yang cantik, kau harus menjaganya untukku. Berikan dia cinta sebanyak kau mencintai aku, sebagai kakakmu.
Aku mencintaimu, Myung Soo-ah. Kau adik terbaik yang aku punya. Jangan kecewakan aku hanya karena perasaan tidak enakmu padaku. Dengan kepergianku, kau bisa bebas memperjuangkan cintamu pada Jiyeon.
Titipkan salamku untuk Jiyeon. Beritahu dia bahwa aku sangat mencintainya. Aku berharap, dilain waktu, setelah aku punya cukup keberanian untuk pulang menemui kalian, kau dan Jiyeon sudah menjadi sepasang kekasih. Jangan pikirkan dimana kau harus mengirimi undangan pernikahan kepadaku. Menikahlah dan hidup bahagia.
Ah In~

“Hyong~” desah Myung Soo setelah membaca isi suratnya. “Mianhae, Hyong…”
Berita perginya Ah In, membuat Na Mi menangis. Myung Soo berusaha menjelaskan kejadian sebenarnya, bahkan kepada ayah dan kakeknya. Myung Soo tidak mendapat cacian dari keluarganya, justru mereka semua menuntut agar Myung Soo melakukan isi pesan di surat Ah In.
“Gumawoyo, Hyong…” gumam Myung Soo. “Gumawoyo~”
**
Jiyeon sedang tergesa-gesa mengepaki kopernya, dibantu dengan pelayan2nya. Tuan Park bingung saat melihatnya. Apa Jiyeon berencana untuk pergi ke luar negeri lagi? Seperti kebiasaannya dulu?
“Kau ingin pergi kemana?” tanya Tuan Park.
“Appa, izinkan aku untuk kembali ke rumah keluarga Kim,” ucap Jiyeon.
“M-mwo?” tanya Tuan Park terkejut. “W-wae?”
“Aku tidak tahu mengapa. Tetapi sepertinya aku memang harus kembali,” ucap Jiyeon.
Tuan Park mengangguk. “Araseo. Hati-hati. Kau, pakailah mobil Jisung. Mobilmu ada dibengkelkan?”
“Aku naik kereta saja,” ucap Jiyeon, lagi-lagi membuat Tuan Park kaget.
“MWO? Kereta? Sejak kapan?” tanya Tuan Park.
“Sudahlah, Appa,” ucap Jiyeon. “Aku harus benar-benar pergi. Kalau tidak aku akan sampai disana malam hari. Hutan2 disana benar2 menakutkan.”
Akhirnya Jiyeon pun pergi. Dia naik taksi menuju stasiun. Ada yang mengganjal di dalam hatinya, entah apa itu. Sepertinya dia telah meninggalkan sesuatu di rumah keluarga Kim. Mungkin, seperti rasa cinta?
**
Hari sudah malam. Min Gyu baru saja mendapat telepon dari Tuan Park.
“Mwo?!” tanya Min Gyu terkejut. “J-jadi Jiyeon-ssi sedang menuju kemari? Sudah berangkat dari pagi? Naik kereta? Seharusnya sudah sampai. Belum. Dia belum datang.”
Kepanikan pun menjalar pada Tuan Park, Min Gyu dan Kim Myung Soo. Dia mendengar pembicaraan ayahnya dengan Tuan Park. Tanpa banyak bicara Myung Soo langsung pergi menuju stasiun. Dia mencari Jiyeon di stasiun tetapi tidak ada. Keresahan merebak pada dirinya.
“Dimana kau, Jiyeon-ah?” desah Myung Soo khawatir.
Myung Soo kembali ke rumahnya. Min Gyu berkata bahwa terakhir kali kabar yang didengar dari Tuan Park, Jiyeon sudah sampai di desanya. Sepertinya Jiyeon lupa arah menuju rumahnya, karena dari stasiun menuju rumah Myung Soo harus melewati hutan dulu untuk pejalan kaki.
“Appa akan mencari dia dihutan. Sepertinya dia tersesat di hutan,” ucap Min Gyu seraya bersiap2.
Myung Soo menahan tangan Appanya seraya berkata, “Biar aku saja, Appa.”
Akhirnya Min Gyu setuju bahwa Myung Soo yang mencarinya. Myung Soo mempersiapkan tas besar berisi peralatan kemping. Ini dilakukannya untuk persiapan, jikalau Myung Soo belum juga menemukan Jiyeon, mau tidak mau dia harus menginap di hutan.
Myung Soo pun masuk ke dalam hutan sambil menggotong ransel kempingnya. Hutannya luas dan agak lebat. Penerangan hanya berasal dari senter milik Myung Soo.
“Jiyeon-ah…dimana kau? Jangan buat aku gelisah seperti ini,” desah Myung Soo.
**
Myung Soo nyaris putus asa karena tidak juga menemukan Jiyeon. Tepae ketika dia ingin menghentikan pencarian dan memutuskan untuk menggelar tenda, sebuah suara manusia terdengar samar2. Myung Soo berusaha mengikuti suara itu.
“Tolong…” Suara itu terdengar seperti itu.
Dan bukan main kagetnya Myung Soo saat melihat Jiyeon jatuh terperosok ke lubang besar.
“Myung Soo?” Jiyeon terkejut akan kehadiran Myung Soo.
“Bertahanlah,” ucap Myung Soo seraya mengeluarkan tali tambang besar untuk Jiyeon.
Myung Soo melemparkan tali tambang itu kepada Jiyeon.
“Pegang tali itu, aku akan menariknya,” ucap Myung Soo memberi perintah.
Myung Soo berhasil menolong Jiyeon.
Penampilan Jiyeon benar-benar berantakan, kotor dipenuhi tanah.
“Myung Soo-ah,” ucap Jiyeon. “Lagi-lagi kau menolongku.”
Myung Soo hanya diam seraya memberesi tali tambangnya.
“Sudah jam sebelas malam. Sebaiknya kita berkemah. Aku takut kalau kita pulang sekarang, akan ada binatang liar yang membahayakan di dalam hutan,” ucap Myung seraya pergi ke tepi hutan.
Jiyeon sangat berterimakasih akan kehadiran Myung Soo. Lagi2 Myung Soo menyelamatkan dirinya. Hal itu membuat Jiyeon senang.
“Gumawoyo,” ucap Jiyeon saat mereka berdua menghangatkan diri di depan api unggun kecil buatan Myung Soo.
“Bukan apa-apa. Kebetulan aku sedang mencari kayu bakar di dalam hutan,” ucap Myung Soo berbohong.
Jiyeon hanya tersenyum mendengar ucapan Myung Soo. Dia tahu Myung Soo sedang membohonginya.
“Um…sudah malam, kau tidurlah di dalam,” ucap Myung Soo sambil menunjuk tenda.
“Bagaimana dengan kau?” tanya Jiyeon.
“A-aku disini,” ucap Myung Soo.
“Diluar dingin sekali. Kau sebaiknya juga masuk,” ucap Jiyeon.
“Gwaenchana, aku terbiasa dengan udara dingin,” ucap Myung Soo gugup.
“Jinjiha?” tanya Jiyeon tidak yakin.
“Ne,” jawab Myung Soo cepat.
Jiyeon tidak memaksa lagi. Dia pun masuk ke dalam tenda. Satu jam berlalu, Jiyeon belum juga bisa tidur. Ternyata dia mengkhawatirkan Myung Soo. Myung Soo masih duduk di depan api unggun. Akhirnya Jiyeon menjulurkan kepalanya keluar tenda seraya berkata, “Masuklah. Aku percaya kau tidak akan melakukan apa-apa.”
Myung Soo sudah merasakan keram pada kakinya. Udara dingin membuat buku-buku jarinya memutih. Sepertinya dia sudah tidak tahan lagi di luar. Sebelum Myung Soo masuk dia berkata, “Demi Tuhan aku tidak akan melakukan apa-apa.”
Jiyeon tertawa seraya menjawab, “Aku tahu itu.”
Akhirnya Myung Soo masuk ke dalam tenda, tidur bersebelahan dengan Jiyeon. Rasa gugup melanda satu sama lain.
Jiyeon dan Myung Soo sama2 belum memejamkan matanya. Mereka hanya menatap langit2 tenda.
“Myung Soo-ah,” panggil Jiyeon memulai percakapan.
“Um?”
“Bisakah kau ceritakan padaku, hal penting apa yang ingin kau ceritakan padaku disaat festival anggur waktu itu?” tanya Jiyeon.
Ternyata rasa penasaran Jiyeon belum juga memudar.
“Haruskah aku menceritakannya padamu? Itu kan sudah berlalu lama sekali,” ucap Myung Soo.
Jiyeon bangun dengan wajah wajah kesal. Di duduk menghadap Myung Soo seraya berkata, “Aku benar-benar penasaran. Salah kau jika waktu itu kau bilang ada hal penting yang ingin kau sampaikan kepadaku!”
Myung Soo pun bangun dan duduk menghadap Jiyeon.
“Memang hal penting,” ucap Myung Soo, menatap Jiyeon lekat2.
“Lalu apa hal penting itu?” tagih Jiyeon tidak sabar.
Myung Soo tidak menjawab. Dia justru hanya memandangi wajah cantik Jiyeon. Ada kebahagiaan besar yang dirasakannya saat melihat wajah Jiyeon. Kini Jiyeon kembali. Walaupun dia belum tahu apa alasan kembalinya Jiyeon.
Dalam gerakan cepat, Myung Soo menjulurkan tangannya, merengkuh pipi Jiyeon, menariknya agar lebih dekat dengan wajahnya. Jiyeon terkejut menerima perlakuan ini. Tanpa ragu, Myung Soo mendekatkan bibirnya pada bibir Jiyeon. Rasa dingin bibir Myung Soo langsung terasa pada bibir Jiyeon. Untuk pertama kalinya, Myung Soo melakukan hal seintim ini pada Jiyeon. Jiyeon hanya diam, tidak merespon ciuman Myung Soo dengan baik, tetapi itu dikarenakan rasa keterkejutannya.
Myung Soo pun melepaskan ciumannya dengan perlahan.
“Apa kau kembali untuk aku?” tanya Myung Soo sambil menatap Jiyeon lekat-lekat.
“A-aku…” ucap Jiyeon dengan suara serak. Degup jantungnya berdetak keras.
“Jebal jangan bilang karena Ah-In-Hyong,” potong Myung Soo sebelum Jiyeon bicara lebih banyak. “Hyong memang mencintaimu. Tetapi aku percaya, cintanya padamu tidak sebesar cintaku kepadamu.”
Jiyeon terkejut mendengar ucapan Myung Soo.
“Saranghae, Jiyeon-ah,” ucap Myung Soo, pelan tetapi masuk ke dalam hati Jiyeon.
“Bukankah kau bilang kau tidak akan melakukan apa-apa padaku di dalam tenda ini?” tanya Jiyeon setelah berhasil mengontrol degup jantungnya.
Myung Soo sadar bahwa dia telah mengingkari ucapannya.
“Ah~mianhaeyo,” ucap Myung Soo merasa bersalah.
Jiyeon tersenyum melihat wajah bersalah Myung Soo.
“Apa benar cintamu padaku lebih besar daripada…”
“Ne,” jawab Myung Soo cepat. “Aku … aku berusaha memendam perasaanku awalnya. Aku tidak mau berselisih dengan Hyong hanya karena cinta seorang yeoja. Tetapi Ah In Hyong merelakanmu untukku. Dia ingin melihat aku bahagia denganmu.”
Jiyeon mengangguk.
“Dia juga mengatakan hal itu padaku,” ucap Jiyeon.
“M-mwo?” tanya Myung Soo terkejut.
Jiyeon tersenyum penuh arti.
“Aku buru2 datang kesini, menghampirimu, karena Ah-In-Oppa menghubungiku. Banyak yang dia bicarakan. Salah satunya hal yang baru saja kau bilang. Dia ingin melihat aku bahagia denganmu. Awalnya aku sempat kaget. Jadi bagaimana perasaannya kepadaku. Dan dia bilang, dia akan tetap mencintaiku sampai kapan pun. Dia akan jauh lebih bahagia jika dia dapat memberikan kebahagiaannya kepadamu.”
Senyum lega terpeta pada wajah Myung Soo.
“Jadi, Jiyeon-ah?” tanya Myung Soo. “Sebenarnya…bagaimana perasaanmu terhadapku?”
“Perasaanku?” ulang Jiyeon.
Myung Soo mengangguk.
“Um…” Jiyeon terlihat sedang berpikir. Dan tiba-tiba saja, Jiyeon menarik kerah baju Myung Soo, agar wajah Myung Soo lebih dekat dengan wajahnya. Jiyeon mencium bibir kecil Myung Soo. Myung Soo terkejut menerima perlakuan Jiyeon. Dan dengan tiba-tiba pula Jiyeon melepaskan ciumannya. Dengan wajah cemberut Jiyeon berkata, “Kau namja jahat!”
“M-mwo?” tanya Myung Soo bingung.
“Kau tidak membalas ciumanku dengan baik, Kim Myung Soo!” ucap Jiyeon seraya melemparkan pandangan Wolf Ladynya.
Myung Soo tersenyum mendengar ucapan Jiyeon.
“Mianhaeyo, aku benar-benar merasa bersalah,” ucap Myung Soo seraya menundukkan kepalanya. “Aku menerima semua hukuman yang kau berikan padaku.”
Jiyeon terlihat sedang berpikir. “Um…kau harus mengganti ciumanku tadi dengan uang.”
“Mwo?”
“Ne, dengan uang,” ucap Jiyeon. “Dulu, aku mengganti anggur2mu yang rusak dengan uangku. Sekarang, kau harus mengganti ciumanku dengan uang. Ciumanku lebih mahal dari apapun yang ada didunia ini!”
“Mianhae, tetapi aku tidak sanggup menggantinya dengan uang,” ucap Myung Soo dengan wajah dibuat takut. “Adakah hal lain yang dapat menggantinya?”
“Araseo…” ucap Jiyeon. “Kim Myung Soo…nikahi aku!”
Kali ini Myung Soo benar-benar terkejut akan permintaan Jiyeon.
“Apa yang ini juga tidak bisa?” tanya Jiyeon sambil melotot.
Tiba-tiba Myung Soo memeluk Jiyeon seraya berkata pelan, “Untuk yang satu itu, sepertinya aku mampu melakukannya. Itu hal yang sangat mudah….dan mengasikkan…”
Myung Soo menarik kepalanya agar dapat memandang wajah Jiyeon. Sekali lagi Myung Soo mencium bibir Jiyeon penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.
Dan tiba-tiba saja tenda mereka terbuka, Hwi Sun, namja boncel di desa Myung Soo, terkejut saat melihat Myung Soo dan Jiyeon sedang berciuman.
“Yaa!” teriak Hwi Sun mengagetkan dua pasangan ini. “Aku sibuk mencari keberadaan kalian setengah mati. Ternyata kalian sedang asik bermesraan disini? Ige mwoyaaa?!”
Myung Soo dan Jiyeon hanya melemparkan senyum satu sama lain. Namja boncel seperti Hwi Sun tidak boleh mengganggu kemesraan mereka. Dengan sekali tendang, Hwi Sun terlempar keluar tenda. Ke ke ke ke…
THE END

Opmerkings

Gewilde plasings van hierdie blog

Lirik Lagu Infinite Lately (White Confession) with Translate