Fragile Destiny (part 2)

Yaaaa! Akhirnya setelah bersemedi berjam-jam, lanjutan fanfic ini bisa publish juga. Semoga masih ada yang mau baca :P
Dan… selamat membaca readers sekalian ^^
_______________________________________________________________________
Bunyi denting bel pintu masuk café itu berbunyi. Entah kenapa pandangan Chansung langsung beralih kesana. Ia melihat seorang wanita bersama teman-temannya yang baru saja keluar dari café itu. Lama ia memperhatikan wajah wanita itu. Wajah itu…
Jantungnya berdegup kencang. Ia kenal dengan wajah itu… itu Jiyeon.
Chansung sama sekali tak mengedipkan matanya. Mungkinkah ia sedang bermimpi saat ini?
baca : Fragile Destiny (part 1)

F R A G I L E  D E S T I N Y

#The third person#
Reflek Chansung langsung berdiri, ia hendak mengejar wanita itu. Nichkhun yang duduk dihadapannya menatapnya tak mengerti. Ia menahan Chansung, memegang pergelangan tangannya.
“Mau kemana?”
Chansung tidak menjawab. Pegangan Nichkhun yang longgar membuat Chansung dapat dengan mudah melepaskan pegangannya. Dan langsung berjalan cepat, mengejar wanita itu. Dibelakangnya, ia masih bisa mendengar suara Nichkhun yang memanggilnya. Walau demikian, tubuh miliknya seakan tak merespon dan terus mencari sosok ‘wajah jiyeon’ itu.
Kemana? Kemana dia? Chansung mengedarkan pandangannya ke semua tempat. Ah, ketemu! Jiyeon… ia melihatnya sedang berada di penyebrangan. Gadis itu berpisah dari teman-temannya, lambaian tangan dan senyum kecil menghiasi perpisahan dengan teman-teman wanitanya di penyebrangan itu.
Lampu hijau untuk penyebrang jalan menyala. Sial! Jalan itu terlalu ramai. Chansung nyaris tidak melihat sosok itu di keramaian, tapi ia tidak akan mau lagi kehilangannya. Ia berlari menuju tempat penyebrangan itu. Lampu penyebrangan kini berubah merah. Kendaraan mulai berlalu lalang, dan terpaksa Chansung harus berhenti.
Dari tempat yang bersebrangan Chansung melihat Jiyeonnya yang semakin menjauh. Tidak… tidak lagi, ia tidak mau Jiyeon pergi lagi darinya.
Chansung langsung menerobos jalan, melaluinya begitu saja walau kendaraan sedang berlalu lalang. Sesekali klakson mobil meneriakinya, beberapa diantaranya nyaris menyerempet tubuhnya. Dan tentunya hal itu tidak cukup untuk menghentikan Chansung.
Akhirnya ia sampai di sebrang. Jiyeon… matanya masih fokus menatap sosok itu.
Chansung berlari kecil untuk bisa lebih dekat dengan Jiyeonnya. Dalam jarak yang lebih dekat, wajah itu semakin jelas, wajah jiyeonnya semakin nyata untuknya.
Dengan gerakan cepat Chansung menarik lembut tangan gadis itu. Dan otomatis, gadis itu menoleh.
Jiyeonku…
Chansung sempat terdiam beberapa detik, menikmati wajah gadis itu. “Jiyeon…”
Gadis dihadapannya itu juga ikut terdiam. Tapi kemudian ia berusaha melepas genggaman tangan Chansung. “Maaf…”
Belum sempat gadus itu menyelesaikan kalimatnya. Chansung langsung memeluknya. “Jiyeon… kau kembali…”
“Hei!!!…” Gadis itu langsung mendorong tubuh Chansung kasar. Tangannya nyaris terangkat, hendak menampar Chansung. Tapi ia melihat wajah pria dihadapannya itu… pria itu… menangis. Suatu rasa menggugah hatinya. “Maaf… tapi kau salah orang. Aku bukan Jiyeon,” akhirnya ia hanya dapat mengatakan itu.
Chansung mendengarnya. Ia tahu… manusia yang sudah mati tidak akan mungkin untuk hidup kembali. Matanya masih memandang gadis itu, tapi kini terlihat kekecewaan yang besar dalam pandangan itu. Entah kecewa pada apa? Pada kenyataan bahwa sosok dihadapannya itu bukan Jiyeon? Atau hanya meratapi nasibnya yang seperti itu?
“Maaf…” Chansung menghapus air matanya. “Kau memang bukan Jiyeon… seharusnya aku tahu itu. Tapi wajahmu sangat mirip dengannya,” jelasnya. “Kalau boleh, bisa aku tahu namamu?”
Gadis itu sempat ragu untuk menjawabnya. Tapi toh hanya sebuah nama, ia tidak akan mendapat kerugian hanya karena itu. “Aku Hyorin. Jung Hyorin”
Hening. Sekitar lima belas detik setelahnya hanya di isi dengan diam, mereka hanya saling menatap sebelum Hyorin memutuskan untuk pamit pergi. “Maaf… aku harus segera pergi.”
ooOoo
Dua cincin yang terbuat dari emas putih, dengan ukiran sederhana tapi tetap terlihat elegan. Eliz puas dengan cincin pesannya. Yang membuat dua benda itu istimewa adalah nama-nama yang terukir disana. Hwang Chansung. Eliza Park.
Ia memang belum bilang apa-apa tentang cincin itu pada Chansung. Tapi Eliz yakin, Chansung tidak akan menolak cincin itu. Lagipula cepat atau lambat, ia dan Chansung akan segera bertunangan.
“Boleh saya mencoba cincinnya?” pinta Eliz.
Eliz memegang cincin yang berukuran kecil, itu cincin untuknya. Terukir nama Chansung disana.
Ketika hendak memakainya, salah seorang pelayan di took itu tidak sengaja menubruknya. Menyebabkan cincin yang dipegangnya terjatuh dan menggelinding entah kemana.
“Maafkan saya,” pelayan itu berkali-kali meminta maaf pada Eliz. Eliz sempat kesal, karena sekarang cincin miliknya entah berada dimana. Tapi mau bagaimana lagi?
“Tidak apa-apa.” Pada akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Eliz.
Dan dengan segera ia mencari cincin miliknya. Tentu saja si pelayan itu ikut membantunya. Seketika itu Eliz merasakan sesuatu yang menyesakkan hatinya. Entah apa itu? Rasanya… kenapa begitu sulit.
Pertama kalinya ia melihat satu sosok yang begitu tulus mencintai seseorang.
“Jiyeon… Jiyeon…” tubuh laki-laki penuh luka itu merangkak mendekati seseorang yang dipanggilnya itu. Tubuhnya seakan berusaha melindungi sang gadis, padahal ia tahu gadis itu sudah tak bernyawa lagi.
Ia berusaha keras untuk mengenal sosok dingin itu.
“Aku Eliz.” Ia mengulurkan tangannya, tapi tak mendapati balasan apapun dari pria dihadapannya. “Kau Hwang Chansung, kan?… Selamat datang di klan Siloueta.” Walau begitu, diberikannya perlakuan terbaik yang ia bisa.
“Ah… ketemu” si pelayan berseru keras. Dan segera memberi benda itu pada Eliz.
“Terima kasih,” ia menggenggam erat cincin itu. Aku tidak akan melepaskannya lagi…
ooOoo
Usahanya untuk mengikuti wanita yang bernama Hyorin itu beberapa hari lalu sama sekali tidak mengecewakan. Kini ia berada di tempat itu, sebuah sekolah dasar. Tempat dimana Hyorin biasa mengajar anak-anak didiknya.
Saat Chansung menapaki lorong-lorong ruang kelas itu, ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berhenti menorehkan senyum di bibirnya. Dari balik jendela ruangan itu, ia melihat wajah Jiyeon yang tertawa bahagia. Suaranya terdengar halus pada anak-anak kecil yang diajarnya. Tapi suara itu… berbeda. Itu bukan suara Jiyeon. Memang bukan Jiyeonnya… itu Hyorin.
Tidak masalah… selama ia masih bisa memandang wajah itu…
Akhirnya suara bel berdering kencang. Waktunya untuk istirahat bagi anak-anak itu. Secepat kilat, anak-anak itu berhamburan keluar ruangan.
Kini Chansung berdiri di samping pintu masuk, menunggu sosok yang ditunggunya sedari tadi. Tak lama menunggu, akhirnya dia keluar. Saat itu, Hyorin tepat langsung memandang wajah Chansung.
Hyorin sempat terdiam lama sebelum sempat berkata sesuatu, “Kau…” Ia heran, bagaimana pria itu bisa ke sini.
Chansung tersenyum padanya, “Kemarin aku belum sempat memperkenalkan diri.” Chansung mengulurkan tangannya, “Namaku Chansung.”
“Namamu Chansung kan? Aku jiyeon”
Hyorin sama sekali tidak menanggapi uluran tangan Chansung. Ia malah mengabaikannya dan berlanjut pergi.
“Hei.. jangan diam saja! Aku kan sudah memperkenalkan diriku padamu!!!”
Chansung langsung mengikutinya. “Tunggu! Jangan mengabaikanku seperti itu, paling tidak seharusnya kau mengatakan sesuatu.”
“Apa?… Mengenalmu saja tidak,” Hyorin makin mempercepat langkahnya.
“Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diriku… Aku Jiyeon!”
Chansung nyaris tertawa melihat kejadian itu. Mengingat-ingat interaksinya dulu dengan Jiyeon. Dan kini ia mendapati wajah itu lagi. Tapi kini situasinya berbeda, dulu dirinyalah yang bersikap dingin pada Jiyeon. Dan sekarang Hyorin yang bersikap seperti itu padanya.
“Apa?! Kenapa senyum-senyum seperti itu?” Hyorin yang melihat Chansung tersenyum seperti itu membuat dirinya merasa tidak nyaman.
“Bagaimana kalau sekarang ini kau makan siang bersamaku. Dan aku tidak akan mengganggumu lagi.” Chansung menawarkan sesuatu yang dianggap Hyorin tidak merugikannya sama sekali.
ooOoo
Ia membuka matanya. Kepalanya terasa berdenyut kencang, pria itu pun memegangi kepalanya.
“Kau tidak apa-apa?”
Seorang wanita kini ada dihadapannya.
“Namamu Chansung kan? Aku Jiyeon” katanya. “Maaf aku harus membuka dompetmu, aku harus tahu identitasmu untuk membawamu ke rumah sakit.”
Chansung sama sekali tidak menanggapi. Yang diingatnya, ia dan kelompoknya habis berkelahi dengan sekumpulan geng kecil. Seingatnya ia berhasil meloloskan diri, dan setelah itu… ia tidak tahu apa-apa.
“Kau terkapar begitu saja di dekat gang rumahku. Kau terluka cukup parah… dan terpaksa aku harus membawamu ke rumah sakit,” jelas Jiyeon.
 Chansung masih diam. Ia berusaha bangun dari tempatnya berbaring.
“Hei.. jangan diam saja! Aku kan sudah memperkenalkan diriku padamu!!!” Jiyeon menahan Chansung untuk tetap berbaring. “Setidaknya kau harus mengatakan sesuatu padaku… terima kasih mungkin?”
“Aku tidak berbicara pada orang yan tidak ku kenal,” Chansung bersuara pada akhirnya.
“Bukankah tadi aku sudah memperkenalkan diriku… Aku Jiyeon!”
Perdebatan kecil menghiasi pertemuan mereka. Dari bongkahan es besar, akhirnya sosok itu bisa meleleh di dekat Jiyeon. Jiyeon yang ceria membuatnya mengenal sisi kemanusiaan dalam hidup. Jiyeon yang sampai saat ini… sangat berarti bagi dirinya.
ooOoo
Suara tembakan terdengar saling bersautan. Ruangan itu penuh dengan sasaran tembak berbentuk manusia.  Nichkhun menembak sasaran hitam itu satu persatu. Jarak target yang terletak jauh darinya, tidak membuatnya melakukan kesalahan sedikitpun. Semua tembakannya tepat mengenai sasaran tembak.
Kini satu target terakhirnya. Target itu dapat bergerak, gerakannya yang cepat sebenarnya tidak masalah bagi Nichkhun. Tapi ada satu hal yang menghalanginya untuk menembak, satu sasaran tembak bergambar seperti wanita paruh baya. Itu jelas bukan target bidikkannya.
“Hai.”
Satu sapaan yang diarahkan padanya. Itu dari Eliz.
Nichkhun menengok sekilas, lalu kembali fokus pada sasarannya.
Suara tembakan terdengar beberapa kali dari arah Nichkhun. Ia menembaki wanita paruh baya itu, dan gambar itu pun jatuh. Setelahnya Nichkhun langsung menembak targetnya yang berwarna hitam.
“Kenapa menembak wanita tua itu juga?” Tanya Eliz.
“Dia menghalangi sasaranku… Kau tidak lihat?”
“Dengan begini misimu menelan satu nyawa tak berdosa.”
“Hei, ini cuma latihan,”  Nickhun tersenyum kecut. “Ada apa denganmu? Memangnya selama ini siapa yang menjadi target kita? Mereka juga orang-orang tidak berdosa,” ia menaruh pistol miliknya. “Jadi sama saja kan. Menghilangkan nyawa orang yang tidak penting untuk keberhasilan misi.”
“Kalau aku jadi kau, aku bisa dengan mudah menembak target itu tanpa menyentuh gambar si wanita tua,” Eliz sedang malas berdebat hari ini. “Ah, sudahlah… ngomong-ngomong Chansung tidak latihan bersamamu hari ini?”
Nichkhun mengangkat kedua tangannya, “seperti yang kau lihat.”
“Ada dimana dia sekarang?”
“Siapa yang pacar siapa, hah?!”
“Jadi, kau tidak tahu dimana Chansung?” Tanya Eliz. “Hmm… tau begini aku tidak usah datang ke tempat bising ini,” gerutunya.
Eliz baru saja akan pergi, ketika tiba-tiba Nichkhun memanggilnya. “Eliz, ada yang mau aku tanyakan padamu. Boleh?”
Eliz memandang Nichkhun, kelihatannya ini hal yang serius dilihat dari mimik mukanya sekarang. “Tentu. Apa?”
“Tentang Jungmin… Selama ini belum pernah aku mendapati tindakan seorang pemimpin yang rela berkorban hanya demi lalat kecil.”
“Persaudaraan…”
“Bodoh! Kau ini… aku tahu kau sangat menuruti kakakmu itu. Tapi, aku tahu kau tidak sebodoh itu untuk mempercayai kata persaudaraan di klan kita,” Nichkhun memandangnya tajam. “Aku yang menyelidiki tentang Jungmin, kau ingat?… Kadang seseorang yang mencari informasi mendapatkan informasi lebih yang tak dapat mereka bayangkan. Dan itulah kondisiku saat ini.”
Eliz masih tidak mengerti kemana arah pembicaraannya ini.
“Dua tahun lalu, tepat saat Chansung membunuh ketua kita yang terdahulu. Dan segera Kakakmu menggantikan ketua kita itu. Lalu kau membawa Chansung masuk ke klan kita,” Nichkhun terlihat berpikir memikirkan kata-katanya. “Tapi, bukan itu masalahnya. Kau tahu orang yang berusaha menentang keras masuknya Chansung ke klan kita?”
Eliz tersadar sesuatu. Kini ia tahu arah pembicaraan ini.
“Elliot. Kakakmu menentang keras hal itu. Kenapa? Apa kau tahu?” matanya makin tajam menatap Eliz. “Itu yang ingin kutanyakan padamu. Apa kau tahu kenapa kakakmu sangat tidak menyukai Chansung?”
Eliz tahu. Ia tahu penyebabnya, tapi mulutnya terasa beku untuk menjawab pertanyaan itu dari Nichkhun.
“Karena… saat itulah kakakmu yang berkhianat dan berencana membunuh ketua kita terdahulu. Kakakmu yang memanfaatkan Chansung untuk membunuh ketua… dia berkomplot dengan klan Chansung untuk meraih kekuasaan yang diinginkannya.”
“Nich…”
“Eliz, kau tahu itu? Sebenarnya aku tidak peduli dengan cara licik kakakmu, aku sudah terbiasa dengan itu, tapi tentang Chansung…” suara Nichkhun tidak terdengar terlalu keras, tapi sangat tegas. “Apa kau tahu? Minggu lalu, aku mencari informasi ini bersama Chansung.”
Deg! Changsung? Apa dia tahu…
“Tapi sayangnya… dia pergi terlebih dulu, sebelum aku mendapat informasi itu.”
Eliz menarik napas panjang, kata-kata itu membuatnya sedikit lega. “Nichkhun…” ia berhenti sejenak. “Aku tahu… aku tahu semua kebusukkan itu. Kebusukkan kakakku. Tapi, masalah Chansung… kalau itu, aku benar-benar —”
“Menyukainya?” tebak Nichkhun. Dan tentu saja tebakkannya itu tepat. “Aku tahu Eliz, aku tahu kau bukan bajingan egois seperti kakakmu. Tapi… sampai kapan kau mau terus menjadi anjing peliharaan bagi kakakmu? Menuruti semua perintahnya yang bahkan bertolak belakang dengan jalan pikiranmu.”
“Aku bukan Anjing!!!” geram Eliz.
“Suatu hari pun anjing ingin pergi bebas menikmati alam liar,” Nichkhun mengatakannya mantap. “Kalau Chansung tau tentang kejadian dua tahun lalu—”
“Kau…” Eliz mengepalkan tangannya. Tapi ia berusaha menahan emosinya dan akhirnya hanya bisa pergi meninggalkan Nickhun tanpa mengatakan apapun.
ooOoo
“Oh ya, tentang Jungmin…”
Eliz menunggu kakaknya itu berbicara.
“Setelah membebaskan Jungmin dari pihak kepolisian, bunuh dia!” titah kakaknya. “Orang itu mengetahui rahasia kejadian dua tahun lalu.”
Eliz tahu persis saat kakaknya mengatakan ‘kejadian dua tahun lalu’, Elliot pasti akan mengungkit-ungkit nama Chansung di dalamnya.
“Seandainya kau tidak merekrut Chansung dalam klan ini…”
“Kakak! Aku selalu menuruti apa yang kau perintahkan, dan aku juga tidak pernah meminta apapun darimu. Jadi tolong… ”
“Cukup… selesaikan saja misimu dengan baik.”
“Kakak… seandainya kau yang mengoreksi kesalahanmu. Melakukan cara licik untuk mendapatkan posisimu sekarang dan memanfaatkan orang yang bahkan saat itu tidak kau kenal,” Eliz mendengus kesal.” Dan dengan bodohnya aku berada di pihakmu.”
“Memangnya kau pikir ini dimana? Kapan kejujuran dipakai dalam dunia yang seperti ini? Dan Eliz… jangan pernah berani berpikir untuk mengkhianatiku, atau Chan—”
Eliz langsung memotong kalimat kakakknya, “Kalau kakak berani melakukan sesuatu yang buruk pada Chansung… kebaikan apapun yang pernah kurasakan terhadap hubungan persaudaraan denganmu, itu tidak akan bisa menghentikan amarahku!”
Terlalu lama mendekam dalam perintah orang lain. Orang itu bagai sayap yang dapat membuatnya terbang hingga kini. Bisakah dirinya kehilangan sayap itudan terombang-ambing akan kencangnya angin kehidupan?
ooOoo
Dulu, Eliz yang mengajak Chansung untuk masuk klannya. Kenapa? Karena ia sangat membutuhkan orang itu dalam hidupnya. Mati-matian ia meyakinkan semua anggota klannya untuk menerima Chansung, agar orang itu bisa selalu ada disisinya.
Dulu, saat Eliz tahu betapa Chansung sangat mencintai Jiyeon, betapa Chansung sangat terpuruk saat kehilangan wanitanya, ia membantunya bangkit perlahan. Sulit memang, tapi ia berusaha agar Chansung bisa menerima kehadirannya. Termasuk dengan menyembunyikan satu rahasia tentang kejadian yang menimpanya dua tahun lalu.
Saat Eliz sering mendengar Chansung yang sering meneriakkan nama Jiyeon dalam tidurnya, ia tak pernah berani untuk mengusiknya. Cemburu, tentu saja. Tapi ia tak bisa marah karenanya, ia tak bisa menanyakan kenapa Chansung selalu menyebut nama itu dalam tidurnya,  ia tak bisa menanyakan pada Chansung untuk memilih dirinya atau Jiyeon. Kenapa? Karena ia takut mendengar jawabannya. Ia takut Chansung lebih memilih Jiyeon.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya… mengikat Chansung terus agar selalu berada disisinya. Itu yang dilakukannya selama ini. Jahat? Tapi hidup lebih jahat karena menempatkan dirinya dalam lingkungan yang sangat buruk.
Klek!
Dengan kunci yang dimilikinya, Eliz bebas memasuki apartemen milik Chansung. Dan saat itu Eliz tepat mendapati Chansung yang sedang berada di ruang tengah.
“Oppa, kemana saja kau beberapa hari ini?”
Chansung melengos sebentar, “ada sedikit urusan.”
“Urusan?…” Eliz sebenarnya ingin membahasnya lebih lanjut, tapi ada yang lebih penting dari itu. “ Aku membawakan sesuatu untukmu.”
Eliz mengeluarkan sesuatu dari tas belanja yang dibawanya. Ia mengeluarkan sebuah kotak. “Bukalah.”
Chansung tidak bisa menolaknya, dan ia pun membuka kotak itu. Sepasang cincin. Ia sempat terkejut dengan isi kotak itu, walau ia tidak menampakkan keterkejutannya di depan Eliz.
Eliz langsung mengambil satu cincin itu, meraih tangan Chansung dan memakaikannya. “Bagaimana pun juga, suatu saat kita akn hidup bersama… jadi ini hadiah kecil dariku untuk kita,” jelasnya. “Oppa… pakaikan cincin itu dijariku,” pintanya manja.
ooOoo
Hyorin tengah mencarikan buku-buku untuk murid-muridnya.  Ketika tangannya hendak mengabil satu buku yang berjudul ‘Sleeping Beauty’, ia mendapati tangan orang lain yang juga hendak mengambil buku itu.
Hyorin melihat wajah si pemilik tangan itu. “Kau!”
Chansung tersenyum padanya. “Hai lagi.”
“Bukankah kau bilang tidak akan menemuiku lagi.” Hyorin sebenarnya tidak keberatan jika harus bertemu dengan Chansung lagi. Makan siangnya kemari dengan Chansung tidak terlalu buruk. Malah, dengan kejadian itu Hyorin dapat mengenal sosok pria itu.
Pria yang terlihat sangat tangguh, tapi juga memiliki sisi yang rapuh. Chansung bercerita banyak padanya. Tentang Jiyeon –seseorang yang sangat mirip dengannya. Sampai tentang pekerjaannya saat ini.
Takut? Tidak, Entah kenapa Hyorin sama sekali tidak merasakan takut pada Chansung. Entah apapun hubungan dirinya dengan Jiyeon yang sangat mirip dengannya itu, tapi sebuah suara dalam hatinya mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja.
“Aku tidak menemuimu, tapi kita tidak sengaja bertemu. Mungkin kita ini jodoh.”
Brukk! Terdengar suara buku yang jatuh. Chansung dan Hyorin sama-sama menoleh, tapi mereka tidak mendapati sumber suara itu.
“Bagaimana kalau hari ini kita jalan-jalan saja?” ajak Chansung. Ia langsung begitu saja melupakan kejadian buku jatuh itu.
“Tapi aku tidak bisa lama-lama menemanimu,” Sebenarnya Hyorin bisa-bisa saja menemani Chansung seharian hari ini. Toh dia juga sedang tidak ada kerjaan.
“Baiklah kalau begitu.”
ooOoo
Ah, sial. Chansung lupa kalau hari ini ada pertemuan klannya. Ia terlalu asik mengobrol dengan Hyorin. Elliot pasti akan memakinya nanti.
Biasanya Eliz selalu rewel mengingatkannya tentang pertemuan klannya. Eliz tahu Elliot tidak menyukai Chansung, maka dari itu ia selalu ingin membuat Chansung terlihat perfect di depan Elliot.
Tapi kenapa hari ini Eliz tidak menghubunginya sama sekali.
Chansung membuka pintu ruang pertemuan itu dengan sangat pelan. Saat melihat ke dalam, ruangan itu suda sepi. Hanya ada beberapa orang. Ada Nichkhun disana, itu yang membuatnya sedikit lega. Dan tentunya ada Elliot, mukanya memperlihatkan ekspresi kesal saat melihat kedatangannya.
“Terlalu bodoh untuk mengetahui waktu pertemuan klan rupanya,” Ellior mendengus kesal. “Dimana Eliz?”
Apa? Eliz tidak datang dalam pertemuan?
“Eliz? Aku tidak bersamanya.”
“Dasar… ada apa dengan anak itu akhir-akhir ini,” terdengar Elliot memaki pelan. “Tentang besok, kau tanyakan semuanya pada Nichkhun. Dan jangan sampai kau melakukan kesalahan… aku tidak akan mengampunimu.” Tatapannya memandang Chansung tajam. Kemudian ia segera pergi dari ruangan itu.
Chansung beralih pada Nichkhun. “Eliz tidak datang? Kenapa?”
“Kalian berdua ini…” Nichkhun memandangnya malas. “Kemarin Eliz bertanya tentangmu padaku dan sekarang kau yang menanyakan Eliz padaku. Siapa yang pacar siapa, hah?”
Eliz belum pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Sebenarnya ada apa dengannya?
“Hei, kau mengenakan cincin,” Nickhun berseru memandang cincin yang tersemat di jari Chansung. Eliza Park. Nichkhun membaca nama yang terukir disana.
Chansung memperhatikan cincin itu. Ah, ia baru sadar kalau nama Eliz tertera disana.
“Kau benar-benar sangat jahat, kalau berani mencampakkan Eliz.” Kata Nickhun.
“Sudahlah. Lebih baik kau mengatakan isi rapat tadi. Aku tidak mau besok menjadi bahan makian Elliot.”
***
Chansung sesekali menghubungi handphone milik Eliz. Tapi tidak diangkat. Kemana dia?
Sesampainya di apartemennya, Chansung melihat handphone Eliz yang tergeletak disana. Apa dia disini?
Setelah menelusuri seisi ruangan apartemennya Chansung belum juga menemukan Eliz. Dimana dia?
Satu tempat yang kira-kira selalu menadi tempat favoritnya. Chansung berusaha mengingat-ingat itu. Ya. Dia tahu, tempat yang selalu menjadi tempat favorit gadis itu.
ooOoo
Dari atap gedung ini ia bisa melihat langit yang membentang luas. Malam ini tidak ada bintang yang terlihat, tidak ada yang berkelap-kelip di langit sana. Kenapa justru di saat yang seperti ini malah tidak ada satupun yang dapat menghiburnya. Bahkan bintang-bintang yang senantiasa berada di sana, bersembunyi hari ini. Gelap.
Eliz tanpa sadar meneteskan airmatanya. Kenapa kehidupan begitu jahat. Disaat ia memutuskan untuk melangkah ke arah yang benar bersama orang itu.
“Aku tidak menemuimu Hyorin, tapi kita tidak sengaja bertemu. Mungkin kita ini jodoh”
Awal melihat sosok yang mirip dengan Jiyeon saja sudah membuat tangannya gemetar. Dan saat mendengar perkataan Chansung yang dilontarkannya itu, otomatis membuat buku yang dipegangnya itu jatuh. Ia tidak sengaja mendapati Chansung di toko buku itu. Awalnya ia ingin menghampirinya, tapi saat melihat seorang wanita… terlebih lagi wanita itu memiliki wajah yang sama dengan Jiyeon, kaki Eliz terasa kaku untuk melangkah.
Kenapa ada orang yang sangat mirip dengan Jiyeon. Kenapa takdir begitu kejam, mengambil Chansung dengan cara ini. Inikah balasan atas segala tindakan keji yang telah dilakukannya?
Mereka terlihat tertawa bersama. Chansung dan wanita itu.
Ternyata itu sebabnya, Chansung hilang dari sisinya… itulah penyebabnya. Karena wanita yang sangat mirip dengan Jiyeon itu.
“Eliz.”
Sebuah suara memanggil namanya. Suara itu… Chansung. Buru-buru Eliz langsung menghapus air matanya.
“Kau tidak datang di pertemuan tadi. Ada apa?” Chansung duduk disampingnya.
Eliz hanya tersenyum kecil, kemudian menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Chansung yang lebar.
“Kalau kau sakit, sebaiknya tidak perlu ikut besok.”
“Tidak Oppa, aku tidak sakit,” ujarnya. “Oppa… biarkan aku meminjam bahumu untuk bersandar  yaa, hanya malam ini saja.”
Perlahan Eliz menutup matanya, dengan posisi yang masih bersandar pada Chansung. Berharap waktu akan berhenti saat itu…
ooOoo
Sayup-sayup Eliz mendengar perkataan kakakknya hari itu. “Aku akan ikut langsung dalam misi ini untuk memastikan tidak ada kesalahan yang kau buat,” tatapan kakakknya mengarah padanya.
Hari itu Klan Siloueta akan melakukan pembajakan sebuah tempat. Museum kepolisian, yang letaknya memang tepat disamping markas kepolisian. Sebuah rencana penyandraan sudah disiapkan untuk melangsungkan aksi mereka.
Pembagian kelompok. Seperti biasa Eliz ditempatkan bersama Chansung. Mereka tidak bisa membawa senjata ke dalam museum. Penjaga di museum ini adalah anggota polisi itu sendiri. Jadi perlu kehati-hatian khusus untuk melewati penjagaan super ketat itu.
Seorang diantara mereka menyamar menjadi seorang petugas kebersihan, ia kini sedang mendorong troli yang berisi penuh senjata kedalam museum itu melewati pintu belakang. Setelah berada di dalam museum, masing-masing dari mereka mengambil senjatanya masing-masing.
Chansung dan Eliz ditempatkan di lantai dua museum itu. Mereka bisa memandang jelas semuanya dari sana. Elliot berada di lantai yang sama, hanya saja bersebrangan dari tempat Chansung dan eliz.
Beberapa orang ditempatkan di atap gedung museum yang transparan. Tentu saja mereka melakukannya dengan sangat hati-hati agar semua berjalan dengan lancar. Sementara beberapa orang lainnya tersebar di seluruh penjuru museum.
Seperti dugaan Nichkhun, hari ini pengunjung cukup ramai. Beberapa orang dewasa, tidak terlalu banyak dan rombongan siswa sekolah dasar. Nichkhun berada di atap gedung, memantau dan mengintai semuanya.
“Untuk memulai penyandraan ini, lakukan serangan kecil untuk mengejutkan mereka.”
Suara Elliot terdengar jelas dalam alat komunikasi yang di pakai seluruh anggota klan yang ikut beraksi hari itu.
“Setelah penyandraan ini berhasil, kita akan lakukan penawaran dengan mereka. Menukar Jungmin yang ditahan dengan semua orang yang kita sandera.”
“Tim yang ada di atap, kalian yang bertugas mengejutkan para pengunjung itu.”
Setelah itu komunikasi terputus. Elliot terlihat masih melakukan komunikasi dengan tim yang ada di atap. Sudah pasti ia menyuruh seseorang yang ahli dalam hal menembak jarak jauh. Nichkhun.
Eliz mengajak Chansung untuk segera bersiap di tempat mereka. Tapi Chansung terdiam, kelihatannya ia tidak mendengar perkataan Eliz. Ia melihat Chansung yang sedang serius memandangi sesuatu.
Lalu Eliz mengikuti arah pandang Chansung. Perlahan ia mengamati objek yang dipandangin Chansung. Segerombolan anak sekolah dasar dengan guru atau pemandu mereka.
Deg! Itu… wajah itu… wanita yang bersama Chansung kemarin. Wanita yang sangat mirip dengan Jiyeon.
Sekarang Eliz melemparkan pandangannya pada Nichkhun. Saat itu Nichkhun sedang membidikkan senapannya ke arah wanita itu. Ia tahu apa yang hendak dilakukan Nichkhun. Kenapa juga Nickhun mengarahkan senapannya pada wanita itu.
Kemudian pandangannya kini beralih pada Chansung. Chansung kini juga sedang memandang Nichkhun, dan Eliz yakin Chansung  pasti tahu apa yang akan di lakukan Nichkhun.
Eliz langsung menggenggam erat tangan Chansung. Ia tidak mau kalau Chansung nantinya akan melakukan yang sama sekali tak diharapkannya.
Chansung menoleh padanya, saat Eliz memegang tangan Chansung secara tiba-tiba. Ia menatap matanya.
Jangan! Kumohon jangan melakukan hal bodoh.
Tapi Chansung tak mempedulikan tatapan Eliz. Ia kembali menatap Nichkhun.
Nichkhun yang sedang berada di atap itu, terlihat tengah memegang alat komunikasi yang terpasang di telinganya. Kelihatannya ia sudah menerima satu perintah. Setelah itu tangannya kembali memegang senapannya, arah itu… bidikkannya tepat mengarah pada Hyorin.
Tidak akan. Ia tidak akan pernah mau kehilangan Jiyeonnya lagi.
Dengan gerakan cepat Chansung melepas kasar genggaman tangan Eliz. Dan mengarahkan pistolnya ke arah Nichkhun. Jarak yang cukup jauh, dan hanya dengan pistol kecil. Tidak masalah, Chansung sangat ahli dalam penembakkan.
Dorr!! Suara tembakkan itu mengagetkan semua orang, termasuk Eliz yang ada disampingnya.
Semua pengunjung di sana mulai panik. Pihak kepolisian mulai bergerak mencari sumber masalah.
Eliz melihat Elliot yang tepat berada di sebrangnya. Pandangan tajam mulai mengarah padanya. Tapi Eliz segera beralih, ia melihat ke sampingnya. Chansung, ia masih menatap sosok itu… ia masih memandang Hyorin.
“Lari…” suara nyaris tak terdengar oleh Chansung. Tapi Chansung merasa kalau Eliz mengatakan sesuatu. “Lari sekarang.” Kini suaranya bisa terdengar, walau ada sesuatu yang tertahan.
Chansung mulai memperhatikan sekelilingnya. Selain polisi yang mulai berkeliaran, para anggota klannya juga terlihat mengincarnya. Dan ia pun segera pergi dari tempat itu.
Pandangan Eliz mulai terasa kabur, karena genangan air mata yang mulai muncul. Ia memandangi sosok Chansung yang mulai menjauh pergi. Tapi kemudian, terdengar suara baku tembak saling bertautan. Polisi mengetahui keberadaan mereka. Saat itu, ia tahu misinya kali ini… gagal.
***
Semua kejadian tadi siang terasa begitu cepat. Chansung yang tadi pagi masih berada di sisinya, kini sudah di cap sebagai pengkhianat klan. Eliz masih tidak dapat berkata apa-apa untuk membela Chansung pada pertemuan dadakan yang diadakan saat ini.
Banyak korban dari klannya hari itu. Nichkhun, ia sekarang dirawat di rumah sakit. Eliz sama sekali tidak membayangkan bahwa Chansung akan berbuat seperti itu pada Nichkhun, hanya karena seorang wanita yang wajahnya mirip dengan Jiyeon.
Kakaknya, Elliot… dia mendapat luka tembakan yang sangat parah. Dan masih menjalankan oprasi saat ini, di rumah sakit yang sama dengan Nichkhun.
Satu keuntungan bagi klannya. Tidak ada yang tertangkap dalam kejadian hari itu. Tapi cepat atau lambat, polisi akan segera bertindak. Ditambah dengan Jungmin yang masih tertahan disana, dia pasti akan memberi informasi tentang klan ini. Dan yang lebih buruk, informasi tentang kejadian dua tahun lalu.
Disaat kakaknya terbaring tak berdaya. Apakah harus Eliz yang menerima semua akibat yang bahkan tak pernah terbayangkan olehnya.
“Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan saat ini. Kondisi klan kita yang tanpa pemimpin, benar-benar sangat rawan,” salah satu dari mereka berbicara.
Mulut Eliz tak sanggup berbicara. Saat ini ia benar-benar kehilangan sayapnya. Ia benar-benar terombang-ambing angin kencang yang bisa menghempaskannya ke tempat terburuk sekali pun.
Perdebatan terjadi dalam pertemuan kali itu. Benar-benar suasana yang ricuh. Tapi semuanya terdengar sayup-sayup di telinga Eliz. Eliz punya masalah sendiri yang juga harus dipikirkannya sendiri.
Wanita yang bernama Hyorin itu. Semua kekacauan ini terjadi karenanya, seandainya sosok itu tidak muncul. Chansung pasti masih disisinya saat ini. Wanita itu… ia akan mendapat kejutan besar darinya.
ooOoo
Sebuah pistol kecil terselip dibalik jaket yang dpakainya, lengkap dengan selongsong peluru didalamnya. Eliz melihatnya… dia memang sangat mirip dengan Jiyeon. Dari balik jendela itu, matanya menatap wanita itu. Entah tatapan apa itu? Kebencian? Atau malah tatapan kesedihan?
Eliz merasakan dorongan kuat di dalam dirinya, memuatnya merasakan keinginan yang tidak bisa dijelaskan untuk menembakkan pistolnya tepat di kepala wanita itu. Tapi, tubuhnya terasa tegang dan tangannya gemetar.
“Kakak.”
Satu suara itu, membuatnya sedikit terkejut. Eliz menoleh, didapatinya seorang anak laki-laki yang dirasanya sangat familiar. Eliz menerawang, mengingat-ingat wajah bocah itu.
“Kakak ingat aku? Aku yang waktu itu di pesta ulang tahun,” ujarnya ceria.
Ah, yaa. Eliz ingat, anak itu. Sebuah rasa bebas menyeruak di hatinya saat memandang wajah kecil itu.
“Kakak sedang apa disini?”
Saat itu rasa yang menggebu-gebu dalam dirinya hilang begitu saja. Eliz langsung menampakkan senyumnya di depan anak itu. “Kakak ingin berbicara dengan dia,” Eliz menunjuk sosok dibalik jendela itu.
“Oh, dia guruku,” katanya. “Akan kupanggilkan, kakak tunggu saja disana” ia menunjuk pada sebuah bangku yang ada disana.
Tak lama menunggu, akhirnya wanita itu tiba juga. Awalnya ia menatap Eliz heran.
“Kau memang tidak mengenalku,” kata Eliz seakan menjawab keheranan Hyorin. “Tadinya aku kesini untuk membunuhmu.”
Hyorin terkejut dengan perkataan yang begitu santainya dilontarkan wanita dihadapannya itu.
“Tapi sekarang niat untuk membunuhmu sudah hilang,” katanya. “Boleh aku mengobrol denganmu?”
Bagaimana bisa Hyorin menjawab ‘ya’ pada seseorang yang telah berkata ‘Tadinya aku kesini untuk membunuhmu’ padanya. Lagi pula ia tidak tahu siapa wanita itu? Dan kenapa juga dia berniat untuk memunuhnya.
“Kau kenal Chansung?”
Chansung? Hyorin tahu laki-laki itu. Walaupun baru bertemu beberapa kali dengannya, ia sudah menganggap Chansung adalah orang yang baik. Seburuk apapun profesinya, tapi ketika berbicara dengannya, memandang matanya, Hyorin bisa melihat kebaikan itu padanya.
“Aku… hmm… mungkin bisa dibilang aku ini adalah pacarnya.”
“kau? Tapi Chansung tidak—”
“Beberapa hari ini dia selalu pergi. Dan ternyata ia pergi menemuimu, kau… wajahmu sangat mirip dengan Jiyeon.” Eliz mengajaknya untuk berjalan-jalan. “Apa saja yang sudah diceritakan Cansung padamu?”
Awalnya Hyorin sempat ragu untuk mengikutinya, tapi kelihatannya wanita dihadapannya itu membutuhkan seseorang untuk sekedar diajak berbicara. “Maaf—”
“Tidak perlu. Selama ini Chansung tidak pernah terlihat sebahagia itu selama bersamaku. Tapi beberapa hari ini, mungkin semenjak bertemu denganmu, ia terlihat sangat bahagia.”
“Aku tahu tetang Jiyeon, dan tentang profesi Chansung. Tapi, aku tidak tahu tentangmu. Chansung tidak pernah menceritakannya.” Sebersit rasa tidak enak saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya.
Kali ini Eliz terdiam.
“Wanita sepertimu… apa kau juga…”, Hyorin sempat berpikir dua kali untuk menanyakan hal itu. “Kau juga melakukan pekerjaan seperti Chansung?”
Eliz mengangguk.
“Kau… pasti wanita yang sangat baik.”
“Apa? Kenapa kau bisa berkata seperti itu?”
“Orang-orang yang mencintai laki-laki seperti Chansung itu pasti adalah wanita yang baik. Lagipula kau tidak jadi untuk membunuhku kan?” rasa tegang yang sedari tadi merasuk dalam dirinya hilang seketika. Saat ini ia merasa seperti bertemu teman lama ketika mengobrol dengan Eliz.
Eliz tertawa kecil. “Aku tidak sebaik yang kau pikirkan.”
“Tapi, kalau boleh aku tahu. Kenapa kau tidak jadi membunuhku? Kenapa tiba-tiba bisa berubah pikiran seperti itu?”
“Anak laki-laki yang memanggilmu…”
“Sanghyun?”
Sedikit rasa sesak membucah dalam hati Eliz, membuat kerongkongannya terlalu sesak. Anak itu… temannya… karena tangan ini… Tidak. Eliz tidak mau memikirkannya lagi.
Eliz terdiam lama.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak mau mengatakan alasannya.” Sergah Hyorin cepat.
Eliz tersenyum. “Kau juga wanita yang baik,” ujarnya. “Seandainya aku juga terlahir baik sepertimu, mungkin aku cukup pantas untuk Chansung,” kini suaranya terdengar pelan.
“Kau bisa merubah jalan hidupmu.”
“Sulit untuk merubah sesuatu yang sudah melekat dari kecil. Sebenarnya ada satu yang bisa membimbingku keluar dari jalan sesat ini, tapi orang itu akan segera pergi.” Wajahnya terlihat murung, tapi Eliz mengeluarkan senyum kecil di akhir kalimatnya.
Hyorin merasakan suatu kepedihan dalam kalimat itu. Seakan ia melihat perjalanan hidup Eliz dari kecil. Hidup di tengah-tengah kegelapan. Membayangkannya saja, membuat matanya terasa panas.
“Terima kasih, mau mengobrol denganku.” Eliz tersenyum lagi dan pamit pergi.
Satu keputusan diambilnya saat itu.
ooOoo
Malam ini masih tak ada bintang yang menghiasi langit. Masih dipenuhi kegelapan. Eliz berjalan santai menuju sekolah itu. Dan ia menemukan yang dicarinya. Chansung. Ia tahu pasti Chansung senantiasa menjaga Jiyeonnya di tempat itu. Orang itu terlihat sedang duduk di salah satu bangku taman sekolah.
Eliz mengambil napas panjang, berusaha mencari kekuatan pada setiap udara yang dihirupnya. Ia berjalan menuju tempat Chansung duduk, ia berjalan perlahan tanpa mengeluarkan suara dalam langkahnya.
Chansung tidak menyangka, saat ada seseorang yang tiba-tiba duduk disampingnya. Itu Eliz. Ada rasa penyesalan yang dirasakannya saat ia mendapati wajah Eliz. Karenanya tindakannya, pasti saat ini kondisi klannya sangat buruk.
“Nichkhun… dia terluka. Tapi tidak terlalu parah.” Eliz mulai memecah keheningan diantara mereka.
Chansung tidak menanggapi, atau lebih tepatnya tidak bisa menanggapi. Waktu itu ia tidak bermaksud melukai Nichkhun, tapi kondisi saat itu mengharuskannya melukai sahabatnya itu.
“Setelah kekacauan yang kau buat, banyak anggota klan kita yang terluka,” suaranya terdengar lembut, selembut angin yang berhembus semilir malam itu. “Elliot… dia yang paling parah, saat ini dia… koma.”
Segala sesuatu terasa berhenti bagi Chansung. Kecuali suara Eliz yang berbicara padanya.
“Chansung, sepertinya kita harus mengakhiri semua ini.”
Hari itu Chansung kembali mendengar Eliz yang menyebut namanya tanpa embel-embel ‘oppa’ dibelakangnya.
Eliz mencoba tertawa, “Bahkan sepertinya kita tidak memulai apapun,” tawa itu terdengar hambar. “Maaf… aku terlambat menyadari ini,” Kini wajahnya setengah menunduk dan ia membisu cukup lama.
Tapi akhirnya sesuatu berhasil bergerak. Menembus kebisuan dan kebekuan yang mengunci Eliz. Sebutir air mata. “Dari awal hanya aku yang memulai… aku terlalu egois untuk itu,” Eliz berusaha menahan isakannya skuat tenaga. Namun tidak berhasil.
Seolah menyentuh benda antik, dengan sangat halus Chansug menghapus air mata Eliz dengan tangannya.
Perlahan Eliz menyentuh tangan Chansung yang tepat berada di pipinya. Ia memegangnya, menjauhi tangan itu dari pipinya. Dipandangnya lekat tangan itu, Eliz masih memegang erat tangan milik Chansung. Tepat di tempat cincin pemberiannya pada Chansung. Ia bisa melihat jelas namanya –Eliza Park— terukir jelas pada cincin itu.
“Chansung, apakah kau pernah memintaku untuk menjadi kekasihmu?”
Chansung terdiam.
“Kau akan selalu bersamaku kan?”
“Lalu… kenapa aku harus memintamu untuk mau menjadi kekasihku?”
Eliz berusaha mencari kekuatan yang tersisa. Ia memegang cincin pemberiannya yang melekat di jari manis milik Chansung.
“Apakah kau pernah meminta itu dariku?”
 “Bagaimana pun juga, suatu saat kita akn hidup bersama… jadi ini hadiah kecil dariku untuk kita.”
Dengan lembut Eliz menarik lepas cincin itu dari jari Chansung, “Kenapa aku harus memintamu untuk mau memakainya?” Eliz mengatur napasnya agar dapat berbicara dengan jelas. “Kalau terus begini, aku akan terus meminta kau untuk mencintaiku. Semua yang kulakukan itu… karena aku yang meminta padamu. Maaf…”
“Bergabunglah dengan klan ini… balaskan dendammu pada kalan mu terdahulu”
“Seharusnya kau bisa lepas dari dunia bengis ini dua tahun lalu, kalau aku tidak memulai untuk memintamu untuk melakukan hal yang aku inginkan. Seharusnya saat ini… kau sudah menjadi orang baik.”
“Eliz, kau—”
“Jangan pernah merasa tidak enak padaku tentang semua ini. Kau pantas melakukan ini padaku. Aku yang jahat padamu, Chansung. Aku jahat…” Eliz langsung memotong perkataan Chansung.
“Apa yang kau bicarakan? Semua yang kulakukan padamu. Aku tidak merasa—”
“Jangan pernah memandangku sebagai orang baik. Kau seharusnya membenciku…” Ia, pada akhirnya berusaha untuk melepas orang itu. Biarlah hubungan mereka menjadi hubungan kebencian. “Aku, Kakakku… dua tahun lalu, kami yang merencanakan pembunuhan ketua kami terdahulu.”
Chansung membeku. Apa maksud pembicaraannya itu?
“Kami… yang memanfaatkanmu untuk membunuh ketua kami itu.” Akhirnya Eliz mengatakan kebenaran itu. “Sekarang kau pasti membenciku kan? Tapi itu memang pantas… ”
Awalnya Chansung memandangnya dengan tatapan heran, namun kelamaan tatapan itu berubah tajam.
“Aku memang orang jahat yang tidak pantas mendapat perlakuan baik dari siapapun… sampai kapanpun. Maaf untuk semuanya…”
Eliz berbalik, ia mulai berjalan menjauhi Chansung.
Ia masih menggenggam cincin milik Chansung. Kemudian ia juga melepas cincin miliknya. Dipandangnya lama nama yang terukir disana. Sudah cukup… ini semua sudah berakhir.
Eliz melepaskan kedua cincin itu begitu saja. Membiarkannya menggelinding ke suatu tempat. Akhirnya ia pun membiarkan orang itu pergi. Itulah jalan yang dipilihnya kini.
Kenapa… kenapa takdir ini terasa begitu rapuh? Hanya ada beberapa jalan yang ditawarkan dan ketika menapaki salah satunya, kau bisa saja tersesat atau terjatuh karena sulitnya. Jalan yang dipilih… tidak jelas kemana ia akan membawa kita.
continued

Opmerkings

Gewilde plasings van hierdie blog

Lirik Lagu Infinite Lately (White Confession) with Translate