Episode 1


F R A G I L E  D E S T I N Y
# that shadows are too real #
.
Seorang pria tengah terburu-buru menuju ke suatu tempat. Tetesan keringat menghiasi wajahnya sore itu. Walau nampak lelah terlihat jelas ada gurat bahagia di wajahnya.
Saat ini yang ada di bayangannya adalah wajah Jiyeon yang menunggunya di rumah. Wanita itu pasti sudah menyiapkan makanan kesukaannya hari ini.
Jiyeon. Wanita itu melambaikan tangannya, menyambutnya pulang hari ini dengan senyum lebar. Ia menghampiri wanita itu, mencoba meraih tangannya. Tapi… tidak bisa. Tubuhnya tidak bisa bergerak, ia tidak bisa menghampiri Jiyeon.
DORRR!!!
Tepat saat suara tembakan terdengar, Jiyeon terjatuh. Tubuhnya terkapar begitu saja. Darah mengalir deras dari tubuhnya. Dan ia tidak dapat berbuat apapun untuk meolongnya. Jiyeon… jiyeon…
“JIYEON!!!!”
Mimpi? Chansung terbangun dengan napas yang berderu kencang. Ia baru saja bangun, tapi peluh keringat membasahi tubuhnya seakan ia habis melakukan kerja berat.
“Jiyeon…” kini suaranya terdengar lirih. Chansung benar-benar berharap bahwa itu semua memang hanya mimpi buruknya. Mimpi buruk dimana ia tidak akan pernah bisa bangun dari bayangan-bayangan yang mengusiknya itu. Chansung sadar, saat ini… Jiyeon sudah tidak ada. Tapi kenapa rasanya ia belum rela?
“Oppa! Apa kau sudah bangun?” terdengar suara wanita yang memanggilnya dari luar kamarnya.
Chansung perlahan bangun dari tempat tidurnya. Ia melangkah membuka pintu kamarnya, ah… ternyata Eliz. “Ya… aku sudah bangun.”
“Baguslah! Cepat mandi sana, jam sembilan nanti ada pertemuan,” ia menerobos masuk ke kamarnya begitu saja. “Kau tahu kan Elliot tidak suka menunggu, jadi sebaiknya kau segera bersiap-siap,” gadis itu dengan santai membuka lemari pakaiannya, dan memilih beberapa setel baju untuk Chansung.
Chansung sudah mengenal Eliz selama dua tahun. Eliz… gadis yang dulu menolongnya saat ia dikhianati oleh klannya sendiri.
Sebaik apapun suatu organisasi gelap memperlakukanmu, tapi kau sedang berada di dunia hitam. Jadi sebaiknya tidak perlu mempercayai siapapun dalam dunia itu. Chansung merekam kalimat itu dengan baik dalam pikirannya.
***
Beberapa orang dengan pakaian serba hitam sudah menempati tempatnya masing-masing di ruang pertemuan itu. Chansung segera menempati tempatnya, diikuti Eliz yang ikut duduk disampingnya.
“Aku jamin pertemuan ini akan membosankan”, bisikkan kecil terdengar mengarah padanya dari seorang pria yang duduk disamping kirinya. “Pasti hanya membahas hal kecil.”
“Bukankah pertemuan yang seperti yang selalu kau harapkan, Nichkhun,” balasnya sembari tersenyum kecil.
“Tentu saja.”
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Seorang pria dengan penjagaan di kedua sisinya. Dari penampilannya sudah jelas terlihat bahwa ia adalah pemimpin disini. Ia menempati tempat duduk tepat di ujung meja yang berbentuk oval itu.
“Kabar buruk untuk Klan Siloueta,” suaranya sudah terdengar tegas. “Jungmin tertangkap kemarin malam, salah satu anggota klan kita. Dia memang hanya anggota bawahan, tapi…” ia menghentikan sejenak perkataannya. “Klan Siloueta adalah klan yang dibangun atas dasar persaudaraan, jadi siapaun dia, apapun jabatannya… ia tetap saudara kita.”
Mata laki-laki itu terlihat murung, sungguh ekspresi yang terlihat sangat tulus. “Kita akan merencanakan pembebasan Jungmin… saudara kita.”
Chansung memandang laki-laki itu, dan ekspresinya. Ia hanya tersenyum sinis melihatnya. Mendengar kata persaudaraan di setiap akhir kalimatnya benar-benar membuatnya muak. Apa benar klan ini memang sebaik perkataan laki-laki itu?
“Nichkhun, kau yang mencari informasi tentang penangkapan Jungmin,” titahnya.
Nichkhun yang tepat berada di samping Chansung terdengar mendesah malas. Tapi pada akhirnya, ia pun menunduk taat pada perintah atasannya itu.
“Setelah mendapat informasi yang cukup, kita akan segera bergerak,” ujarnya. Pria itu langsung bangkit dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
“Pertemuan yang membosankan, ya?” Chansung melirik Nichkhun yang ada disampingnya.
Nichkhun hanya memandangnya tajam. Sementara orang-orang di ruangan itu mulai berhamburan keluar ruangan. “Eliz, kau bisa menyuruh pemimpin kita menugaskan Chansung bersamaku kan? Kakakmu itu pasti selalu mendengar perkataanmu.”
Eliz tertawa mendengarnya, “Yaa… aku bisa saja melakukannya.” Jawaban Eliz itu membuat Chansung memandangnya. Tentu saja ia tahu Chansung tidak menyukai tugas yang membosankan seperti itu. “Tapi Nichkhun, sepertinya aku terlalu mencintai Chansung dan tidak akan membiarkannya mengerjakan tugas yang tidak penting seperti itu.”
“Hah, kau ini sahabat macam apa?…”
Saat itu Eliz mendapati handphonenya berbunyi. Satu pesan singkat. Ia segera membacanya, “Dari Elliot… aku harus menemuinya,” katanya seraya pamit.
Hening. Ruangan itu memang sudah sepi. Hanya ada Chansung dan Nichkhun di ruangan itu. “Hmm… aku pernah berpikir seperti ini…” Nichkhun memulai pembicaraan. “Kenapa kita ini bisa berada dalam organisasi yang bertentangan dengan hukum Negara kita? Padahal sebelumnya aku tidak pernah membayangkan hal ini.”
“Takdir mengarahkan manusia pada jalan hidupnya”
“Jadi menurutmu, jalan yang sedang kita lalui ini adalah takdir yang tidak bisa dihindari?”
Chansung berpikir sejenak, “Takdir itu memang kejam kan? Membawa manusia ke jalan yang rumit, kemudian merenggut orang-orang disekitar kita dengan cara yang bengis.” Chansung masih melanjutkan, “Dan sekarang apakah takdir itu bisa membawa kita ke kehidupan yang lebih baik?”
“Klan Siloueta, klan yang mengatas namakan persaudaraan.”
“Kau benar-benar percaya dengan slogan seperti itu?”, suara Chansung terdengar sedikit ketus. “Ini bukan tempat dimana kita bisa saling percaya dengan orang yang sedang berbicara dihadapan kita.”
Nichkhun memaksakan seulas senyum kecil dibibirnya. “Aku tahu, aku berada di klan ini lebih lama darimu. Aku juga tahu tentang masa lalumu… dikhianati oleh klanmu sendiri, orang-orang yang berada disampingmu yang tiba-tiba menikammu,” ia berhenti sejenak. “Aku tidak mempercayai siapapun di tempat ini, termasuk kau. Bahkan kalau ingin terus hidup di dunia yang seperti ini, aku tidak boleh mempercayai siapapun.” Nichkhun berdiri dari kursinya, “Aku memang tidak percaya padamu, tapi… saat ini kau adalah sahabatku.”
Chansung tidak mengeluarkan ekspresi apapun.
“Di saat semua menodongkan pistol ke arahmu, aku akan menjadi orang yang tepat berdiri disampingmu.” Ia pergi meninggalkan ruangan itu.
ooOoo
Ruangan bergaya klasik menjadikan ruangan itu jauh dari kesan tempat berkumpulnya orang-orang yang terbiasa melihat kucuran darah manusia yang dihasilkan dengan tangannya sendiri.
Gadis itu dengan wajah manisnya menghampiri kakaknya. “Ada apa?”
Elliot menyodorkan sebuh foto pada Eliz. Foto itu adalah foto seorang gadis yang sekiranya baru berumur sepuluh tahun.
“Manisnya,” Eliz memandangnya lekat. “Dan harus diapakan anak ini?”
“Bunuh!”
Eliz sama sekali tidak menampakkan wajah yang terkejut, seakan ia sudah terbiasa dengan kata ‘BUNUH’. Tapi memang itulah dunianya semenjak ia lahir.
“Ayahnya membocorkan rahasia klan kita, saat transaksi dengan Arachni minggu lalu kita benar-benar dipermalukan. Kita mendapat kerugian besar karenanya.” Elliot menjelaskan. “Dua hari lagi anaknya berulang tahun… kita akan memberi kejutan besar di pesta ulang tahunnya.”
“Surprise party… ”
“Ini tugas rahasia, aku mempercayakannya padamu. Dan aku tidak akan membiarkanmu bekerja sendirian, sebaiknya kau mengajak orang yang kau percayai.”
“Chansung,” Eliz langsung menjawab tanpa berpikir terlebih dulu. Nama Chansung sudah tersimpan lekat di memorinya.
Elliot tahu nama itu yang akan keluar dari mulut adiknya itu. Ia memang kurang menyukai anak itu. Bahkan Chansung selalu mengkritiknya tentang kata ‘persaudaraan’ yang selalu dikatakannya. “Eliz… dia baru dua tahun bergabung di klan ini. Kau tidak bisa…”
“Tentu saja bisa. Aku percaya padanya.”
Elliot tidak ingin berdebat panjang dengan adiknya. “Jalankan tugas ini dengan baik.” Elliot baru saja ingin mengakhiri pembicaraannya, tapi ia teringat sesuatu, “Oh, iya tentang Jungmin…”
ooOoo
Pukul sebelas malam. Eliz berada di apartemen Chansung, ia berniat memberikannya hadiah hari itu. Tapi sudah selarut ini Chansung belum juga pulang. Beberapa kali ia menghubungi handphonenya, tapi tidak aktif.
Eliz ingat pembicaraannya dengan Chansung kemarin.
.
“Oppa, tadi pagi aku mendengarmu…” Eliz sempat ragu namun tetap melanjutkan. “Kau…”, tidak, tidak bisa. Ia bahkan tidak berani untuk menanyakannya.
“Apa?”
“Ah tidak, aku mendengarmu berteriak. Apa kau mimpi buruk, Oppa?”
 “Mimpi buruk… ya.”
.
Sudah dua tahun mereka saling kenal, tapi sikap Chansung masih tetap dingin terhadapnya. Eliz tidak mempermasalahkan itu, ia tahu Chansung adalah orang yang baik dan sangat menyayanginya.
Tapi Eliz mendengarnya kemarin, saat itu Chansung meneriakkan nama Jiyeon.
Ya. Jiyeon… Chansung sangat menyayangi orang itu, bahkan setelah kematiannya. Eliz tak dapat memungkiri disamping dirinya, ada Jiyeon yang selalu membayanginya. Jiyeon sudah tidak ada. Tapi bayangannya terlalu nyata baginya.
Terkadang ia meragukan hubungannya dengan Chansung saat ini. Apakah Chansung benar-benar menyayanginya? Tapi, tidak boleh. Ia tidak boleh berpikir seperti itu. Chansung adalah orang baik yang dikenalnya, yang membuatnya pertama kali mengenal ketulusan. Dan Eliz tidak mau kehilangan orang itu. Tidak… Ia tidak akan sanggup…
KLEK!!
Terdengar suara pintu yang terbuka. Itu Chansung.
Chansung melihat Eliz yang tengah duduk di sofa.
“Eliz, kau ada disini? Kenapa tidak bilang?” Chansung terlihat sangat lelah. “Sudah berapa lama kau menungguku?” ia turut ikut duduk di sofa yang sama.
“Ah, sudahlah tidak apa-apa,” sebelumnya Eliz hendak menyerocos panjang lebar bahwa ia sudah berkali-kali menelponnya tapi melihat Chansung yang terlihat sangat letih ia mengurungkan niatnya. “Oppa, sudah makan?… aku akan membuatkan sup untukmu.”
Tanpa menunggu jawaban dari Chansung, ia langsung menuju dapur. Butuh sekitar dua puluh menit untuk menyiapkan sup buatannya. Walaupun terbuat dari bahan seadanya, Eliz sudah memastikan sup buatannya itu layak makan.
Eliz membawa semangkuk sup buatannya ke ruang tengah. Saat itu didapatinya Chansung sudah terlelap. Ia kembali menaruh sup buatannya di panci dan segera menuju ruang tengah. Dibaringkannya Chansung di sofa yang panjang.
“Selamat malam, Oppa” Eliz mengecup kening kekasihnya itu. Dan menaruh hadiah kecilnya di meja dekat sofa itu. Sebuah gantungan perak, berbentuk lingkarang dengan gambar bintang di dalamnya.
Jangan berpimpi buruk lagi yaa, malam ini.
ooOoo
Eliz siap dengan pakaian waitress-nya. Chansung sedang menyiapkan senapan yang dilengkapi oleh peredam suara. Dari atap bangunan itu, terlihat jelas persiapan pesta ulang tahun seorang gadis kecil bernama Minra.
“Karena ini hanya pesta ulang tahun, mungkin penjagaannya tidak terlalu ketat. Lagi pula pesta ini diadakan outdoor, pasti banyak celah yang dilewatkan para penjaga itu” ujar Chansung. “Ini akan selesai dengan mudah.”
Eliz tersenyum menanggapinya, “Semoga memang seperti itu.” Kemudian Eliz menatap Chansung, “Ngomong-ngomong Oppa, kau terlihat tampan dengan pakaian pelayan itu.”
***
Eliz membawa nampan penuh camilan. Matanya terus mengintai gadis kecil yang berulang tahun hari itu. Setumpuk kotak hadiah mengelilingi gadis itu. Sungguh malang membayangkan bahwa nantinya ia tidak akan sempat membuka semua hadiah miliknya.
“Hei, kakak boleh aku minta pai lemonnya,” seorang anak laki-laki menghampirinya.
“Ah, tentu saja adik manis.” Eliz menampilkan senyum terbaiknya.
“Terima kasih,” anak itu mengambil kuenya. “Kakak… kakak lebih cantik kalau tersenyum seperti itu, dari tadi… pandangan kakak terlihat agak menyeramkan,” anak itu turut tersenyum. “Tetap tersenyum seperti itu ya, Kak” kemudian anak itu pergi menghampiri teman-temannya.
Eliz tertegun sejenak. Ada satu perasaan yang mengganjal, ia tidak tahu itu apa. Tapi rasa itu sempat menyesakkan dadanya.
“Eliz!”
Eliz menoleh, kini Chansung ada disampingnya.
“Kau kenapa?”, Chansung merasa ada yang aneh dari Eliz.
Eliz menggeleng, ia memaksakan sebuah senyuman. “Kita bersiap-siap sekarang.”
Mereka berdua menuju atap bangunan yang tadi mereka telah persiapkan. Disana mereka dapat memantau semua gerak-gerik pengunjung pesta. Setelah mengganti pakaian, mereka kembali mengecek senpan yang telah mereka persiapkan.
“Aku yang akan menembaknya,” Eliz berkata begitu saja.
“Apa?” Chansung tau itu akan terjadi. Selama ini ia tahu Eliz adalah tipe orang yang akan menyelesaikan tugasnya dengan baik, siapapun korbannya. Orang tua, bahkan sampai anak kecil pun akan dihabisinya jika itu yang diperintahkan untuknya.
Tapi tetap saja Chansung tidak rela jika tangan gadis itu harus berurusan dengan nyawa orang lain. Ada dua sisi dari Eliz yang Chansung ketahui. Eliz adalah gadis manis dan manja dihadapannya dan orang-orang terdekatnya. Dan Eliz adalah pembunuh berdarah dingin di hadapan semua calon korbannya. Bahkan sampai saat ini Chansung masih ngeri untuk melihat gadis itu berlumuran darah akan perkelahian yang mereka hadapi.
Dan sekarang ia melihat Eliz sebagai karakter keduanya. Matanya telah terkunci pada korban yang ditugaskan untuknya.
Saat ini tepat lagu ulang tahun memeriahkan suasana pesta itu. Gadis kecil itu, Minra sudah siap si depan kuenya yang besar dengan lilin berangka sepuluh. Setelah memakai sarung tangan, Eliz siap membidik senapannya sekarang. Bidikkannya tepat mengarah ke kepala gadis itu. Eliz melihat wajah Minra tersenyum bahagia, siap meniup lilin ulang tahunnya.
Tepat saat lagu berakhir, Eliz menembakkan pelurunya.
Minra jatuh terkapar… tepat didepan kue ulang tahunnya.
Dan setelah itu kepanikan mulai terjadi.
“Eliz, kita harus pergi,” Chansung yang sadar pihak keamanan mulai bergerak, langsung menarik Eliz pergi. Topi yang dipakai nyaris menutupi mata, masker, serta kaca mata hitam lengkap menyamarkan identitas mereka.
Chansung menggiring Eliz menuju pintu keluar. Tiba-tiba ia berhenti.
“Ah, sial!!” desis Chansung. “Kenapa penjagaannya sangat ketat, padahal hanya pesta seorang anak kecil.” Terlihat orang-orang yang menjaga pintu keluar, mereka terkoordinasi dengan baik sehingga sulit menembus pertahanan mereka.
“Kita terobos mereka.”
Chansung memang tidak terkejut mendengar ide gila itu dari Eliz. Tapi masalahnya, mereka hanya berdua. Dua orang melawan penjaga sebanyak itu? Mustahil!
“Itu jalan keluar terdekat… lagi pula mobil kita berada tidak jauh dari gerbang itu.” Eliz menjelaskan. “Jika memilih jalan berputar justru akan lebih berbahaya.”
“Tujuan kita adalah pintu keluar, sebaiknya kita tidak menghabiskan banyak tenaga untuk berkelahi dengan mereka semua,” jelas Chansung.
Eliz mengangguk, kemudian ia memberi syarat untuk segera menerobos kerumunan itu.
Awalnya mereka berdua berjalan santai, tentunya para penjaga itu langsung menghampiri mereka. Meneriaki mereka berdua untuk berhenti.
Dengan sigap Chansung langsung bergerak menghindari para penjaga yang mulai mengepungnya. Sedikit perlawanan diberikan Chansung untuk mempermudah menghindari para penjaga itu.
Cukup sulit untuk keluar dari penjagaan ketat itu. Eliz bahkan memberi perlawan keras pada mereka yang menghalangi jalannya. Seorang pria menahan pergerakkannya, tapi Eliz tidak diam begitu saja. Dengan luwes tangannya meraih leher pria itu, dan gerakan singkat dari tangannya mematahkan tulang leher pria itu.
Chansung langsung membantu Eliz dari kerumunan yang menyulitkannya. Ia memeberi kode pada Eliz untuk tidak melakukan sesuatu yang menghabisi tenaganya.
Dan akhirnya dengan usaha yang cukup berat, mereka berhasil lolos.
ooOoo
“Kenapa penjagaannya sangat ketat?!! Menyusahkan” kini mereka dalam perjalanan pulang. Chansung tetap fokus mengendarai mobilnya ditengah kelelahan yang menjelajahi tubuhnya.
“Oppa…” Eliz berusaha mengatakan sesuatu, tapi tertahan begitu saja di mulutnya.
“Oppa… anak itu.” Eliz memantapkan suaranya. “Ayahnya merupakan anggota klan kita juga, tapi ia berkhianat. Elliot menyuruh kita unt..”
“Untuk membunuh anak kecil yang bahkan tidak mengetahui apa pekerjaan ayahnya”, terdengar luapan emosi dalam perkataan Chansung. “Klan yang berlandaskan persaudaraan… ” ia tertawa sinis.
Eliz tahu Chansung tidak menyukai tipe pembalasan yang melibatkan nyawa orang lain. Chansung memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan Elliot, pemimpin klannya.
“Tipe orang seperti dia memang akan selalu menjadi korban bagi klannya.”
Elliot dengan jelas mengatakan kelemahan Chansung. Tapi Eliz tak peduli, ia tak lagi peduli dengan klan atau semacamnya.
“Tapi memang seperti ini kan kehidupan kita, walaupun hanya satu orang yang terlibat dalam organisasi, secara tidak langsung kita juga melibatkan orang-orang terdekat kita. Jika melakukan kesalahan, itu bisa berdampak pada mereka,” ujar Eliz. “Dan kau pasti tahu, betapa sulitnya untuk keluar dari oranisasi itu.”
“Seorang gadis yang seharusnya sedang menghabiskan waktu berbelanja bersama teman-teman wanitanya, tapi malah menghancurkan hidup orang lain,” Eliz melanjutkan. “Dan tangan ini menjadi terbiasa untuk melakukan hal itu, jadi…”
“Eliz… jangan berbuat seperti itu lagi,” Chansung spontan langsung memotong perkataan Eliz.
“Berbuat apa?” Eliz tidak mengerti.
 “Kau tidak perlu membu…” Chansung tersadar akan yang dikatakannya, dan ia pun tidak melanjutkan perkataannya.
Eliz mencoba menelaah kalimat Chansung. “Maksud Oppa, aku tidak boleh membunuh lagi?” kini matanya memandang ke arah jendela mobil di samping kirinya. “Aku… aku terlahir di dunia yang seperti itu, pembunuhan… pengkhianatan… itu duniaku, jadi bagaimana ak..” kalimat itu tertahan begitu saja.
Chansung memandang Eliz yang sedang menatap ke arah jendela.
Biar tanganku saja yang melakukannya. Kau tidak perlu melakukan itu semua.
Chansung tidak sadar apa yang tengah dipikirkannya. Kenapa ini? Apa dia peduli pada Eliz?
“Hidup yang seperti ini telah mengekangku sangat lama, sampai-sampai aku bahkan tak bisa bermimpi untuk melakukan hal lain,” suaranya terdengar bergetar. “Sampai aku bertemu seorang pria… aku jadi memiliki satu impian.”
Eliz terdiam lama.
Chansung masih menunggu perkataan Eliz.
“Aku ingin hidup bersamamu, Oppa… dimanapun… di dunia yang gelap seperti ini pun akan aku jalani, asalkan bersamamu, itu tidak apa-apa.” Eliz menoleh pada Chansung. “Kau akan selalu bersamaku kan?”
ooOoo
Selama ini hidup sendirian dengan orang-orang berdarah dingin membuatku tidak bisa melihat sekelilingku dengan jelas. Chansung adalah orang pertama yang memberitahuku tentang satu hal yang tidak dimiliki orang-orang terdekatku.
Potongan-potongan waktu yang hanya berupa ingatan kabur dan ruang-ruang kosong, tapi sekarang masa jernih mulai sering terjadi dalam hidupku. Membayangkan untuk kehilangannya, bahkan tak sanggup. Aku tidak mau lagi terjerat dalam kekosongan hidup.
Jalan terang yang sudah diberikan Tuhan saat ini… tidak akan pernah kulepaskan.
ooOoo
Ruangan itu sengaja dibiarkan gelap. Chansung menikmati kesunyian itu di kamarnya, ia melangkah mendekati jendela kamaranya. Membiarkan cahaya dari gemerlap kota besar itu menyinari sedikit sudut kamarnya.
Chansung memegang sesuatu ditangannya. Sebuah gantungan perak. Berbentuk lingkaran dengan bintang di dalamnya,  seperti penangkal mimpi buruk. Ia mendapati itu tiga hari lalu. Saat Eliz menunggunya sampai larut malam di apartemennya.
Gadis itu… Chansung selalu tidak bisa menolak kehadirannya. Tapi ia juga tidak bisa sepenuhnya menerima kehadiran gadis itu.
Dalam pikirannya selalu terlintas nama Jiyeon.
Tidak ada yang salah dengan Eliz. Dia gadis yang baik, bahkan ia yang pertama kali menerimanya di Klan Siloueta. Ia yang membantunya bangkit karena kehilangan Jiyeon. Dan karenanya pula ia nyaris melupakan Jiyeon. Tapi Chansung jelas menolak hal itu, Chansung tidak akan pernah rela untuk melupakan Jiyeon.
Mungkin itu yang menyebabkannya tidak bisa menerima kehadiran Eliz dalam dirinya. Karena ia masih menyimpan nama Jiyeon dihatinya.
ooOoo
Lagi-lagi hari ini tangannya telah melakukan dosa. Eliz memandangi kedua tangannya, pandangan itu terlihat menyedihkan seakan ia sedang mengasihani dirinya sendiri. Kenapa ia terlahir di dunia yang seperti ini?
“Kakak… kakak lebih cantik kalau tersenyum seperti itu, dari tadi… pandangan kakak terlihat agak menyeramkan.”
Ia berjalan menuju kaca yang ada dikamarnya. Ia menatap matanya sendiri. Tangannya perlahan menyentuh bayangan dirinya yang terpantul dalam kaca. Wajahnya… matanya… apa benar-benar menyeramkan?
Kemudian Eliz mencoba tersenyum. Ia sendiri lebih suka melihat wajahnya yang seperti itu.
“Tetap tersenyum seperti itu ya, Kak”
Ditengah wajahnya yang tersenyum, tiba-tiba matanya meneteskan air mata. Rasa sakit tiba-tiba menghujam dadanya.
Kenapa? Kenapa menangis? Menangis untuk apa?
Klek!
Terdengar pintu kamarnya yang terbuka. Elliot masuk ke kamarnya.
Elliot melihat adiknya yang tengah menghapus air matanya. “Ada apa denganmu? Sejak kapan menjadi lembek seperti ini?”
Eliz tak menjawab.
“Apa karena laki-laki itu? Chansung, dia…”
“Kakak!” ia sadar tengah bersuara keras pada kakaknya. “Ini bukan karena siapa-siapa. Terkadang aku berpikir, kau ini benar-benar kakakku atau bukan?”
Elliot tidak suka dengan perkataan Eliz. Elliot menyambar tangan Eliz dan memeganginya erat-erat. “Kau…”
“Apa kakak tidak sadar?… Aku ini, adikmu ini… adalah seorang wanita. Wanita yang punya perasaan…” Eliz menghentikan kata-katanya, kemudian memandang tangannya yang sedang dicengkram erat oleh kakaknya. “Tangan itu… dia telah membunuh banyak orang. Tanganku…” Jantungnya berdebar memikirkan dirinya akan mengucapkan semua itu keras-keras.
Eliz menarik paksa tangannya yang dicengkram Elliot. “Maaf Kak, saat ini aku butuh sendiri…” wajah Eliz tertunduk. Ia mencoba menahan emosinya sebelum semua isi pikirannya terlontar dari mulutnya.
Elliot akhirnya meninggalkannya sendirian.
Eliz memandangi pintu kamarnya yang mulai menutup. Ia tahu bicara dengan kakaknya tidak akan pernah berhasil. Lagi pula hanya dengan membicarakannya saja tidak akan mengubah keadaan. Tapi terkadang itulah yang paling ia inginkan, menceritakannya pada orang lain. Tapi sering ia hanya tidak ingin merasakan perasaan – perasaan yang mengerikan itu. Rasanya ia ingin lari saja dari semua itu, sehingga tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi ketakutan, tidak ada lagi hal-hal buruk.
ooOoo
“Pada akhirnya, kau mau menemaniku mengerjakan tugas yang membosankan ini”, Nichkhun tersenyum lebar disamping Chansung.
Chansung tidak menanggapinya. Hari ini sebenarnya Eliz mengajaknya untuk pergi jalan-jalan, tapi sepertinya ada tugas mendadak untuknya hari ini. Karena sudah terlanjur berada jauh dari apartemennya, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu.
“Lumayan juga kau ada disini, walaupun tidak berbuat apa-apa paling tidak aku punya teman untuk mengobrol,” tambah Nichkhun. “Bagaimana kalau makan siang dulu?”
Nichkhun yang melihat sebuah café langsung menarik Chansung ke dalamnya. Seorang pelayan wanita langsung menghampiri.
“Kau mau pesan apa?” Tanya Nichkhun.
“Terserah saja.”
Chansung tidak begitu memperhatikan apa yang dipesankan Nichkhun untuknya. Matanya menelusuri seluruh sudut café itu, mencari sesuatu yang menarik.
“Hei… lihat, kau percaya dengan penangkal mimpi rupanya?” Nichkhun melihat sebuah gantungan berbentuk lingkaran dengan bitang di dalamnya, di samping handphone milik Chansung. “Kau ternyata orang yang seperti itu,” Nichkhun tertawa geli.
“Itu dari Eliz.”
“Oh… begitu,” tawa Nichkhun mulai mereda. “Dia sangat perhatian padamu ya… kau seharusnya memberikan sesuatu juga untuknya.”
Chansung hanya mengangguk, malas.
“Padahal dulu aku menyukainya, tapi kau datang… dan ternyata dia menyukaimu”, Nichkhun berkata santai sembari tertawa.
“Kau menyukainya?”
Kini Nichkhun menatapnya serius, “Kenapa? Memangnya aku salah pernah menyukainya”
Chansung tidak membalasnya.
“Haha… Kau ini,” Nichkhun kembali tertawa melihat tampang Chansung yang masam. “Tapi aku tipe orang yang menjunjung tinggi persahabatan, jadi kau tenang saja. Lagi pula aku ini tidak cocok untuknya,” jelasnya panjang lebar.
Chansung benar-benar tak berminat dengan topik pembicaraannya hari ini.
Bunyi denting bel pintu masuk café itu berbunyi. Entah kenapa pandangan Chansung langsung beralih kesana. Ia melihat seorang wanita bersama teman-temannya yang baru saja keluar dari café itu. Lama ia memperhatikan wajah wanita itu. Wajah itu…
Jantungnya berdegup kencang. Ia kenal dengan wajah itu… itu Jiyeon.
Chansung sama sekali tak mengedipkan matanya. Mungkinkah ia sedang bermimpi saat ini?

Opmerkings

Gewilde plasings van hierdie blog

Lirik Lagu Infinite Lately (White Confession) with Translate